Sphinx, Makhluk Mitologis yang Elok dan Menawan
Catatan Adi - Manusia tidak bisa hidup lepas dari mitologi. Bahkan seiring berjalannya waktu, mereka menciptakan mitos-mitos yang memperkaya kehidupan dan peradaban. Salah satu pusat mitologi dunia adalah Mesir. Dan berbicara tentang Mesir, maka pastilah teringat satu makhluk mitologi yang sangat ikonik, Sphinx.
Berbeda dengan makhluk lainnya, Sphinx digambarkan sebagai perpaduan antara singa dan Firaun itu sendiri. Firaun dalam budaya bangsa Mesir bukan hanya sekedar raja. Ia sering disembah setara dengan Tuhan, meski jelas itu adalah perbuatan yang tidak tepat.
Dalam artikel kali ini kita akan membahas Sphinx, makhluk mitologis yang sangat menarik untuk diulas, termasuk bagaimana ternyata tidak hanya Mesir yang mengenalnya.
![]() |
Monumen Sphinx Mesir |
Bayangkan pagi di dataran tinggi Giza. Kabut tipis baru mengendur, udara gurun menyimpan dingin malam, dan matahari mulai menyapu dataran dengan garis emas. Dari kejauhan, tubuh seekor singa terbaring megah. Wajah manusia terukir di atasnya, menatap lurus ke timur, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
Ia adalah Sphinx—sebuah teka-teki dalam bentuk batu. Tak bersuara, namun suaranya menggema ribuan tahun. Seperti ditulis dalam National Geographic History Magazine, Sphinx Giza bukan sekadar patung, melainkan simbol peradaban yang ingin menaklukkan waktu dengan seni dan keyakinan.
Sphinx bukan hanya ikon Mesir. Ia adalah simpul narasi yang melintasi Mesir, Yunani, Levant, Asia, hingga India. Dari penjaga matahari terbit hingga penguji nasib manusia, dari simbol kerajaan hingga ornamen kuil, sphinx terus bertransformasi. Kisahnya adalah kisah pertukaran budaya dunia kuno—seni, agama, dan mitos yang berpindah bersama pedagang, penakluk, dan ziarah.
Patung yang Lahir dari Batuan dan Cahaya
![]() |
Sphinx di Giza |
Sphinx pertama kali hadir di Mesir Kuno sebagai simbol kekuasaan firaun. Tubuh singa melambangkan kekuatan, wajah manusia menunjukkan kebijaksanaan. Gabungan itu mencerminkan raja sebagai makhluk setengah ilahi.
Yang terbesar tentu Sphinx Agung di Giza, sepanjang 73 meter dan setinggi 20 meter. Menurut Encyclopaedia Britannica, ia dibangun sekitar masa Firaun Khafre (Dinasti IV, abad ke-26 SM). Para arkeolog sepakat patung ini dipahat dari satu bongkah batu kapur alami yang menonjol di dataran Giza.
Bagaimana ia dibuat? Alat yang digunakan sederhana: palu batu dolerit, pahat tembaga, dan kayu. Para pekerja mengikis batu sedikit demi sedikit, menyisakan bagian inti untuk tubuh dan kepala sphinx. Setelah itu, mereka melapisi beberapa bagian dengan blok batu tambahan, lalu memahat detail. Catatan yang dikutip oleh ahli Mesir John A. Wilson menyebutkan bahwa sphinx dulunya dicat penuh warna—wajah merah, tubuh kuning, dan ikat kepala biru. Kini hanya sisa-sisa pigmen yang terlihat.
Pembangunannya bukan sekadar kerja seni, melainkan proyek politik. Ribuan pekerja dikerahkan, sebagian besar petani yang bekerja saat musim banjir Nil. Menurut penelitian arkeologi modern, ada desa khusus pekerja di Giza yang menampung mereka, lengkap dengan roti, bir, dan tempat tinggal. Sphinx dengan demikian adalah hasil kolektif ribuan tangan, bukan karya misterius dari bangsa asing seperti dikira sebagian teori pseudo-arkeologi.
Selain di Giza, sphinx juga berbaris di jalan prosesi menuju kuil-kuil. Di Luxor, terdapat Avenue of Sphinxes sepanjang hampir 3 km, dihiasi lebih dari 600 sphinx berkepala manusia dan domba. Fungsinya jelas: mengantar para peziarah menuju hadirat dewa, melambangkan kuasa firaun sebagai penjaga jalan menuju dunia ilahi.
Sayap, Teka-teki, dan Takdir Oedipus
Ketika ide sphinx menyeberang ke Yunani melalui perdagangan dan kolonisasi, ia berubah bentuk. Sphinx Yunani memiliki tubuh singa, kepala wanita, dan sayap burung—lebih menyeramkan ketimbang pelindung agung Mesir.
Ia terkenal dalam tragedi Thebes. Menurut kisah yang dicatat di Encyclopaedia of Greek Mythology, Sphinx menguasai jalan masuk ke kota dan mengajukan teka-teki: “Makhluk apakah yang berjalan dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di malam hari?”
Tak seorang pun bisa menjawab hingga datang Oedipus. Jawabannya, “Manusia,” membuat Sphinx bunuh diri. Oedipus pun diangkat menjadi raja, hanya untuk terjerumus dalam tragedi menikahi ibunya sendiri, Jocasta.
![]() |
Sphinx versi Yunani |
Sphinx di Yunani menjadi simbol pengetahuan dan nasib. Seperti ditulis Sofokles dalam Oedipus Rex, makhluk itu bukan sekadar penghalang, melainkan simbol takdir yang menguji manusia. Oedipus menang dalam teka-teki, tetapi tetap tak bisa menghindari kutukan hidupnya.
Kisah ini menegaskan perbedaan makna: di Mesir, sphinx melindungi; di Yunani, ia menguji dan menghukum.
Sphinx sebagai Simbol Pengetahuan dan Kerapuhan
Para ahli sastra sering melihat peran Sphinx dalam tragedi Oedipus sebagai metafora eksistensial. Menurut Jean-Pierre Vernant, seorang pakar mitologi Yunani, teka-teki Sphinx adalah cermin kehidupan manusia: lahir merangkak, dewasa berjalan tegak, tua bertopang tongkat.
Kemenangan Oedipus atas Sphinx melambangkan akal manusia yang menaklukkan misteri. Namun pada saat yang sama, tragedi berikutnya menunjukkan keterbatasan akal itu. Oedipus tidak bisa melawan takdir.
Dengan demikian, Sphinx menjadi simbol paradoks: manusia bisa menjawab teka-teki dunia, tapi tetap terikat oleh batasan hidup. Inilah yang membuat kisah Oedipus dan Sphinx terus hidup dalam sastra, filsafat, hingga psikologi modern.
Wajah Lain di Kuil dan Pura
Sphinx tidak berhenti di Mesir dan Yunani. Dalam budaya Asia, ia menjelma dalam wujud berbeda, namun tetap menyimpan esensi: makhluk hibrida yang menjaga batas sakral.
Di India, dikenal purushamr̥ga (atau purushamirugam dalam bahasa Tamil), makhluk berkepala manusia dan bertubuh hewan. Menurut penelitian Raja Deekshithar (2009), patung purushamr̥ga kerap ditempatkan di pintu kuil Hindu. Mereka dipercaya menelan dosa para peziarah sebelum memasuki area suci.
Dalam tradisi Buddhis, relief stupa Bharhut (abad ke-2 SM) menunjukkan figur hibrida mirip sphinx, hasil pengaruh seni Yunani-Buddhis pasca penaklukan Aleksander Agung. Di Gandhara, motif hibrida serupa juga muncul.
Di Myanmar, ada manussiha, singa berkepala manusia yang menjaga pagoda. Di Thailand, muncul norasingha, makhluk setengah singa setengah manusia yang kisahnya masih diceritakan dalam lakon rakyat. Di Kamboja dan Jawa, terdapat nara-simha (avatar Dewa Wisnu berwujud manusia-singa), yang meski berbeda secara teologis, menunjukkan kesinambungan imajinasi makhluk hibrida.
Di India Selatan, ada pula Yali, makhluk bertubuh singa dengan campuran gajah atau burung, kadang berwajah manusia. Yali dipahat di tiang kuil Tamil Nadu, dipercaya sebagai penjaga ruang sakral. Seperti dicatat dalam Wikipedia (artikel Yali), motif ini terus digunakan hingga arsitektur kuil modern.
Dengan demikian, sphinx dan kerabatnya di Asia bukan hanya artefak masa lalu, melainkan bagian hidup dari tradisi keagamaan dan seni arsitektur hingga kini.
Saat Dewa, Mitos, dan Simbol Menyebrang Lautan
Bagaimana sphinx bisa sampai ke Asia? Jawabannya terletak pada jalur perdagangan dan migrasi budaya kuno.
Pedagang Fenisia, Yunani, dan India berlayar melintasi Laut Tengah dan Samudra Hindia. Mereka membawa rempah, logam, dan kain, tetapi juga membawa cerita, simbol, dan kepercayaan. Menurut Ancient History Encyclopedia, simbol Mesir seperti Isis dan motif sphinx muncul dalam seni Yunani karena intensitas pertukaran ini.
Hal yang sama terjadi di Asia. Penaklukan Aleksander Agung membuka jalan kontak antara Yunani dan India. Seni Gandhara, yang mencampur gaya Yunani dengan ikonografi Buddhis, adalah bukti nyata. Dari sanalah, motif makhluk hibrida seperti sphinx ikut meresap.
Contoh lain: kultus Mithra dari Persia yang kemudian populer di Romawi, atau dewi Isis, salah satu pantheon agama Mesir Kuno yang dipuja di pelabuhan-pelabuhan Yunani. Simbol-simbol ini menyebar karena manusia selalu menukar cerita bersama barang dagangan.
Sphinx pun mengikuti jalur itu, menjelma menjadi purushamr̥ga, manussiha, hingga norasingha.
Dua Penjaga di Pintu Misteri
Sphinx punya “kerabat” lain di dunia mitologi: griffin, makhluk bertubuh singa dengan kepala dan sayap elang.
Jika sphinx Mesir adalah pelindung kerajaan dan sphinx Yunani adalah penguji, griffin lebih banyak digambarkan sebagai penjaga harta. Menurut artikel Mark Cartwright di World History Encyclopedia, griffin populer dalam seni Persia, Yunani, dan Romawi, lalu bertahan hingga Abad Pertengahan dalam lambang heraldik.
Griffin, gabungan singa dan burung |
Keduanya berbagi elemen yang sama: kekuatan singa ditambah kebijaksanaan atau sifat surgawi. Bedanya, sphinx lebih terhubung dengan misteri dan pengetahuan, sedangkan griffin dengan kekayaan dan kuasa.
Menariknya, griffin justru lebih populer di Eropa Abad Pertengahan, sementara sphinx meredup.
Membeku dalam Waktu: Saat Sphinx Kehilangan Suaranya
Mengapa sphinx berhenti berkembang?
Setelah runtuhnya Mesir Kuno, simbol-simbol pagan kehilangan daya hidup. Penaklukan asing dan masuknya agama-agama baru—Kristen dan Islam—menggeser peran ikon lama.
Sphinx Yunani pun tidak lagi relevan setelah dunia klasik runtuh. Di Abad Pertengahan, sphinx hanya tampil sekilas sebagai ornamen eksotis, sementara griffin dan naga lebih disukai.
Sphinx Giza bahkan sempat terkubur pasir hampir sepenuhnya. Catatan abad pertengahan dari sejarawan Arab menggambarkannya hanya dengan kepala yang muncul di permukaan. Baru pada abad ke-19, ekspedisi arkeologi modern menggali kembali tubuhnya.
Selama berabad-abad, sphinx benar-benar kehilangan suaranya.
Bangkit dari Pasir: Sphinx di Mata Dunia Modern
Kebangkitan sphinx dimulai dengan penemuan arkeologi modern. Napoleon membawa ahli seni dan arsitektur ke Mesir pada 1798. Laporan mereka membuat Sphinx Giza kembali terkenal di Eropa.
Penggalian besar abad ke-19 membebaskan tubuh sphinx dari pasir. Sejak itu, ia menjadi simbol misteri Mesir Kuno.
Di abad ke-20, Sphinx tampil dalam film, novel, hingga video game. Ia tidak lagi dilihat sebagai dewa atau penguji, melainkan lambang teka-teki kuno. Menurut National Geographic, orientasinya yang menghadap tepat ke matahari terbit terus menimbulkan diskusi: apakah itu hanya kebetulan, atau bagian dari kosmologi kerajaan?
Di sisi lain, muncul pula teori pseudo-arkeologi, seperti dugaan bahwa Sphinx jauh lebih tua dari peradaban Mesir, atau bahwa ada ruang rahasia di bawahnya. Walaupun tidak terbukti, teori-teori ini justru memperkuat aura misterinya di mata publik.
Kini, Sphinx adalah ikon global. Ia hadir di koin, hotel, karya seni pop, bahkan dijadikan simbol teka-teki. Jika dulu ia pelindung firaun, kini ia pelindung imajinasi manusia.
Epilog: Misteri Abadi Sang Penjaga Timur
Sphinx adalah cermin perjalanan peradaban. Dari batu kapur di Giza hingga relief kuil di India, dari tragedi Yunani hingga panggung modern, ia terus berubah rupa.
Di Mesir ia pelindung, di Yunani ia penguji, di Asia ia penjaga pura, di dunia modern ia lambang misteri.
Tatapannya ke timur, ke arah matahari yang selalu terbit, adalah pengingat bahwa manusia selalu mencari jawaban. Sphinx mungkin membisu, tetapi dalam diamnya ia terus mengajukan pertanyaan: siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita akan pergi?
Daftar Pustaka
-
Allen, J. P. Middle Egyptian: An Introduction to the Language and Culture of Hieroglyphs. Cambridge University Press, 2014.
-
"Great Sphinx of Giza." Encyclopaedia Britannica. Encyclopaedia Britannica, Inc., 2023.
-
Mark, Joshua J. "The Sphinx of Giza." World History Encyclopedia, 2016.
-
"Sphinx." Wikipedia, The Free Encyclopedia. Wikimedia Foundation, 2023.
-
Tyldesley, Joyce. Egypt: How a Lost Civilization Was Rediscovered. BBC Books, 2005.
-
"The Riddle of the Sphinx." National Geographic History Magazine, 2018.
-
"Bharhut." Encyclopaedia Britannica. Encyclopaedia Britannica, Inc., 2024.
-
"Yali (mythology)." Wikipedia, The Free Encyclopedia. Wikimedia Foundation, 2023.
-
Deekshithar, Raja. "Sphinxes in Indian Art and Tradition." Asian Art Journal, 2009.
-
Cartwright, M. "Griffin." World History Encyclopedia, 2016.
-
Vernant, Jean-Pierre. Myth and Tragedy in Ancient Greece. Zone Books, 1990.
Posting Komentar untuk "Sphinx, Makhluk Mitologis yang Elok dan Menawan"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.