Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

The Liverpool Effect : Fenomena Kalah Melawan Klub Gurem


Sepakbola - Ini adalah artikel lawas mengenang hobi Liverpool, kalah ketika melawan klub gurem menang ketika berhadapan dengan klub raksasa. Aneh tapi nyata. Pantas susah juara. Dan pendukung tambah merana.

Liverpool goblok


Bagi seorang Liverpudlian, galau bercampur gelisah adalah menu makanan tiap minggu. Apalagi kalau Liverpool, sang klub pujaan hati bersua dengan tim-tim gurem. Bagaimana tidak, Si Merah (julukan Liverpool) lebih banyak keok daripada menang ketika berhadapan dengan tim-tim menengah kebawah.

Hal ini memang sebuah fenomena. Ketika berhadapan dengan Chelsea, Arsenal atau Spurs, anak-anak Anfield bisa tampil kesurupan. Menangpun sering dengan skor yang meyakinkan. Tapi begitu menghadapi Hull City (klub macam apapula ini) dan rekan-rekan sekasta, The Anfield Gank lebih sering tumbang.

Idealnya, jika mampu mengatasi Arsenal atau Evertoon, harusnya bisa menghadapi Leicester dan Bournemoth. Tetapi inilah sepakbola. Sebuah tontonan penuh drama yang memiliki anomalinya sendiri. Sayangnya fenomena The Kop Effect ini berlangsung terus menerus.

Mulai dari era kekuasaan Lord Rafa (Rafael Benitez), berlanjut sampai Fuhrer Klopp, The Kop masih saja tampil ababil. Padahal di awal musim, Jurgen Klopp sang manager baru asal Jerman digadang-gadang mampu menyelesaikan problem keok melawan tim kecil. Nyatanya? Liverpool tetap dihinggapi virus The Kop Effect!

Mengapa fenomena The Kop Effect ini terus berlanjut? Ini adalah sebuah hal yang sangat menarik untuk dibahas. Dan seperti biasa, jika sudah membahas sepak bola, jangan kaget jika pisau analisanya akan menyayat-nyayat ke bidang-bidang lain. Bukankah sepak bola memang salah satu intisari dari peradaban, kamerad? Oke mari sedikit menjadi sok tahu sok pinter dan kita kulit bersama fenomena sialan bernama The Kop Effect ini!

Bukan karena kesombongan!

Menghancurkan Chelsea tapi kemudian dibantai Leicester? WTF! Tapi itulah kenyataan. Walau pahit tetap harus kita teguk, karena memang ada cawan yang tidak bisa kita tolak. Masalahnya dimana sebenarnya titik lemah Liverpool?

Secara kualitas, para pemain Liverpool tidak terlalu njomplang satu dengan yang lain. Sebut saja lini depan, selain ada Firminho, juga ada Sturidge, Mane dan Origi. Walau tidak sememukau Ibrakadabra atau CR7, mereka tetap striker-striker diatas rata-rata, apalagi bandingnya Crystal Palace, Southampton dan terutama Bournemoth.

Lalu kenapa, gan?

Apakah karena kesombongan? Mereka menjadi takabur setelah mampu tampil perkasa melawan tim-tim the big 6. Sehingga ketika bersua tim-tim gurem, lalu jadi alpa, jadi khilaf dan akhirnya keok?
Tidak kawan! Itu adalah hipotesa yang keliru. The Kop Effect sudah terjadi sejak setidaknya 5 tahun belakangan ini, bahkan lebih. Mungkin jika baru terjadi, bisa jadi mereka memang sombong. Tetapi bukankah sudah rahasia umum, bahwasanya Liverpool selalu kesulitan melawan tim medioker?

Justru yang ada, mungkin melihat track recordnya sendiri, jajaran pemain dan pelatih The Anfield akan lebih dag-dig-dug ketika berhadapan dengan Wigan daripada MU. Jelas mereka tidak akan pernah menyombongkan diri ketka bertarung bahkan dengan tim yang baru sekali menginjakkan kaki di level Premiere League.

Mereka bukan Barcelona atau Real yang terus menang beruntun kecuali keduanya bertemu. Atau Bayern Munchen yang nampaknya makin bosan bermain di Bundesliga karena jarang ada yang bisa mengimbangi. Tidak, Liverpool bukan mereka. The Kop Effect bukan terjadi karena mereka merendahkan lawan mereka.

Jika bukan karena kesombongan, lalu?

Ada yang mengatakan faktor keberuntungan, seperti banyaknya pemain yang tiba-tiba cidera, para bintang yang mendadak jadi amatir, hujan deras yang membuat lapangan licin atau lampu mati ditengah pertandingan. Memang faktor-faktor X,Y,Z seperti diatas ada. Bahkan kalau diteruskan, akan jadi Z1, Z2, Z3, seperti sepatu pemain tiba-tiba hilang, pelatih terserang epilepsi atau gawang kena santet, jadi gampang dibobol.

Come on, ini Premiere League, sebuah liga yang keindahannya nyaris menyamai Fantasy Football di PS. Faktor-faktor non ilmiah memang harus diyakini ada tetapi jelas jauh dari kata signifikan. Tetapi jika bukan itu, lantas apa?

Pemain tipikal?

Dahulu di Liga Italia, ada seorang pemain yang kalau main di malam hari bisa tampil bak singa yang luka, mengerikan. Tapi kalau main pagi atau sore, melempem. Itulah pemain tipikal, pemain dengan ciri-ciri khusus. Apakah mungkin Liverpool diisi pemain seperti ini, yang jadi macam banteng ketaton jika lawan tim raksasa, tapi tiba-tiba berubah amatir kala bertemu tim abal-abal. Apakah ini yang dialami Liverpool dengan The Kop Effectnya?

Sama sekali bukan! Why? Karena fenomena ini sudah berlangsung lama dan para pemain plus pelatih

Liverpool sudah mengalami bongkar pasang macam lego berkali-kali.

Hitung saja sejak era Michael Owen jadi trade mark, Steven Gerrard, Xabi Alonso, El-Nino Torres, Suarez, Sterling, sampai era dimana Liverpool benar-benar kosong pemain bintang. Begitu pula jika dilihat dari sudut pandang pelatih. Sejak The Lord Rafa, Roy Hodgson, Brendan Rodger, King Kenny, hingga Jurgen ‘The Normal One’ Klopp, masih saja anak-anak Anfield tampil labil.
Sistem

Untuk mencari the root factor, maka harus dicari dahulu kesamaan Liverpool dari tahun-ketahun. Apakah persamaan Liverpool dari akhir era Gerarrd Houlier sampai Klopp? Ya, mereka selalu tampil menyerang!

Liverpool sebenarnya memiliki roh yang tidak pernah luntur. Roh klasik khas tim-tim raksasa era FA Cup masih jadi kompetisi terelit di Britania. Roh yang menghantui Anfield siapapun pelatih dan pemainnya. Ya, roh Kick n Rush, yang oleh Klopp di-modify menjadi gegenpressing.

Menyerang dan terus menyerang. Inilah ciri khas tim kuno Inggris. Mereka kuat di tengah, hebat didepan dan mengerikan di sayap. Tak heran Liverpool selalu melahirkan pemain bintang dari posisi penyerang tunggal dan gelandang tengah. Setelah era Ian Rush, Liverpool memiliki pemain depan dengan gaya yang berbeda tetapi tetap selalu bermain dengan kick n rush. Alirkan bola ke depan, kejar, bawa kedepan. Itulah sepakbola positif, mirip seperti yang terjadi di liga Belanda.
Masalahnya jaman sudah berubah. Sepak bola modern menuntut pemain memiliki kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya, bukan sebaliknya. Apalagi Cuma bertahan.

Dulu, dunia dihujani talenta berbakat macam Franz Beckeunhower, Paolo Maldini, Fernando Hierro, Sammi Hypia, Jap Stamm, Ale Nesta, Robby Carlos, Cafu, Michelle Tarnat atau kalau di Indonesia Hamka Hamzah, Vlado-nya Persib dan Fabiano Beltram. Mereka adalah bek sekaligus mesin pencetak gol.

Tetapi sepak bola modern menuntut balancing. Tim harus dipaksa sabar untuk membongkar gaya defensif lawan. Tak heran Chelsea dan Citizen lebih konstan. Mereka memiliki bek-bek tangguh sekaligus sistem permainan yang balance.

Liverpool harus belajar dari itu semua. Tak semua klub harus dilawan dengan jurus tinju mabuk 100 ribu volt. Kadang menahan bola, memainkan ritme dan kemudian mengecoh lawan untuk langsung menyerang dengan satu atau dua serangan efektif akan jauh lebih baik. Setelah itu, kembali mainkan ritme. Gitu terus aja sampai mental lawan benar-benar hancur lebur, baru mainkan kick n rush rasa tiki-taka alias gegenpressing.

Klopp harus berpikir untuk mencari beberapa defender hebat yang sesuai untuk menunjang sistem ini. Jangan cuma satu dua, karena berpotensi kelelahan. Bek-bek tangguh macam Pepe, Pique, Luiz, Ramos, Boateng adalah bek-bek tangguh yang membuat kiper tenang.
Jadi kesimpulannya?

The Kop Effect bukan terjadi karena faktor kesombongan. Bukan pula karena faktor satu atau dua orang. Apalagi karena faktor cuaca, sakit perut, disantet, atau sepatu terserang kutu air. Dari analisa amatir pat gulipat cocoklogi diatas, ini adalah faktor system of play yang harus dirubah. Ini adalah challenge untuk Mr. Klopp, apakah dengan gegenpressingnya, mampu membawa Anfield Boys lepas dari kutukan The Kop Effect? Let’s see!

You Will Never Walk Alone!




Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "The Liverpool Effect : Fenomena Kalah Melawan Klub Gurem"