Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tiga Pendekar Naga (Bab 2)

Semalam raja tidak bisa tidur. Ia berdiskusi dengan sengit dengan Hanra. Arak dan makanan bahkan tak ia jamah. Ini menandakan bahwa masalah yang sedang dihadapi sungguh pelik. 

"Apa kau yakin dengan semua itu, Hanra?"

"Ampun Baginda. Demi leluhur Baginda dan leluhur hamba, serta demi semua rakyat Wui yang bahagia, apa yang hamba ceritakan adalah kebenaran semata."

Raja Wuilan melihat mata Perwira Hanra dengan tajam. Ia menelisik jauh dengan pandangannya yang menyelidik. Dalam hati ada kegentaran luar biasa yang bergejolak. Ia tahu, Hanra tak pernah berbohong. Ia bahkan lebih percaya Hanra daripada para gubernur yang tiap minggu mengirimkan laporan yang berisi berita baik semata. 

Hanra adalah seorang perwira cakap yang bahkan lebih baik dari Jenderal Rei maupun Panglima Gao dalam hal menyamar dan mencari informasi di kandang musuh.

Tiga tahun lalu ia memerintahkan Hanra dan orang-orangnya untuk pergi ke Suilan, Weitang, Mezha, Negeri Kabut Berbisik, Gazhar dan Republik Tuizka untuk mengirimkan semua informasi mengenai keadaan politik dan potensi konflik yang mungkin terjadi.

Setiap minggu Hanra mengirimkan laporan rahasia langsung kepada dirinya. Namun dalam setengah tahun belakangan ini, ia tak pernah mengirim laporan. 

Raja tak mempermasalahkan itu. Ia pikir ini bentuk protes Hanra yang ingin naik jabatan. Ternyata ia salah. Ada kabar mencekam yang ia lihat yang harus ia sampaikan sendiri.

"Hanra, bukannya aku tidak mempercayaimu..." Raja kembali menggeleng-gelengkan kepala. Ia mencoba mencari kosakata yang tepat agar tidak menyinggung perwiranya yang cakap itu.

"Tapi bagaimana mungkin negeri sekuat Mezha dan Suilan hancur tanpa perlawanan?"

"Ampun Baginda, jika hamba lancang. Tapi nampaknya Baginda tidak mendengar dengan cermat laporan hamba. Suilan dan Mezha bertarung layaknya singa. Prajurit negeri-negeri itu bertempur sampai titik darah penghabisan. Bahkan raja Sanna memimpin sendiri pertempuran. Tetapi justru itulah yang membuat mereka hancur. Ampuni hamba jika lancang." Hanra kini bahkan menangis sambil menyembah Raja.

Raja makin bingung. Mezha dan Suilan yang dulu bahkan berani menantang Liga Emas hancur tak bersisa. Ia sulit mencerna laporan Hanra yang menceritakan bagaimana dua negeri itu katanya bahkan sudah tidak ada lagi di peta. 

"Jika Rajaku tidak percaya, silahkan naik balon udara terbaik dan pergilah ke selatan. Di balik Gunung Olian, kini tidak ada lagi satupun kota yang berdiri, baik itu di tanah Mezha maupun di Suilan. Dua negeri itu sudah musnah, Baginda. Musnah tak bersisa." Kini semua anak buah Hanra juga berlutut sambil menangis. Perdana Menteri dan Panglima Gao juga makin bingung. Baru kali ini ia melihat prajurit menangis dan ketakutan.

Kini Wuilan mulai percaya. Namun ia yakin, bahkan ketika ancaman itu berhasil menghancurkan negeri-negeri Olian, mampukah mereka menghadapi prajurit Negeri Kabut Berbisik yang adalah berisi orang-orang yang gila bertempur. Terlebih lagi harus menghadapi Weitang dan Gazhar. 

Lalu raja bertanya bagaimana sikap negeri-negeri Tanah Atas mengetahui Suilan dan Mezha hancur. Ternyata jawabannya cukup membuat raja tenteram.

"Tiga negeri itu tidak tinggal diam. Hancurnya Mezha, terlebih Suilan membuat raja kerajaan Weitang, Gazhar dan Kabut Berbisik marah. Mereka masing-masing mengirim Panglima perangnya untuk berangkat membebaskan Suilan."

"Lalu bagaimana? Apakah negeri antah berantah itu, apa namanya? Negeri Pasir Hitam? Apakah sekarang mereka juga sedang hancur berkeping-keping?"

Hanra terdiam. Ia kini sadar bahwa dirinya gagal membuat Raja Wuilan sadar betapa mengerikan sesuatu yang mereka hadapi. Ia merenung sambil memilih kata yang tepat.

"Ternyata Anda tidak mengerti, Raja?"

Demi mendengar itu, Raja terbelalak. Panglima Gao marah dan bahkan ingin menghunuskan pedang. Dalam dirinya, Negeri Pasir Hitam yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, hanyalah omong kosong. Ia tak yakin Suilan dan Mezha hancur hanya dalam dua minggu.

Namun Raja menatap Gao dan dengan kodenya memerintahkan panglima itu tunduk. Ia lalu menuangkan arak dan memberikannya pada Hanra. Perwira Hanra menolak. Semua terkejut. Raja lalu meminumnya sedikit dan kembali menawarkan cawan itu. Kini Hanra menerima sambil kembali menangis.

Hanra melanjutkan ceritanya. Negeri Pasir Hitam menyerang tiba-tiba. Mereka dipimpin oleh Kaisar mereka langsung, yang bernama Kaisar Kegelapan. 

Sang Kaisar memerintahkan semua prajuritnya membantai semua orang yang mereka temui, termasuk ternak dan hewan tak ada yang dibiarkan hidup. Raja Mezha dan Suilan ditawan untuk dijadikan budak, sedang istri-istri dan anak perempuan mereka diberikan pada para perwira Negeri Pasir Hitam.

Namun secara tiba-tiba, Kaisar Kegelapan pulang ke negerinya yang entah dimana letaknya. Meninggalkan para prajuritnya di Suilan, tepat di balik Gunung Olian.

Saat ketiga panglima dari negeri-negeri Tanah Atas tiba, mereka terbelalak. Kota perbatasan Suilan hancur lebur. Hanya ada asap dan api, serta abu dan reruntuhan. 

Ketiga panglima itu menyerbu ibukota Suilan yang dijaga para prajurit penjajah. Pertempuran sengit terjadi. Namun saat itu turun hujan. Prajurit Pasir Hitam kalah telak dan mundur hingga ke Mezha. 

"Nah, kau sendiri yang mengatakan. Gazhar tidak bisa dianggap remeh, termasuk juga Negeri Kabut dan Weitang. Lantas bagaimana selanjutnya?"

Hanra kembali melanjutkan ceritanya. Seminggu yang lalu, Kaisar Kegelapan kembali datang. Ia langsung memimpin pasukan Pasir Hitam. Hanya dalam waktu sehari, semua prajurit Tanah Atas hancur. Setengahnya ditumpas, sisanya melarikan diri. 

"Begitu mereka hancur, hamba langsung berinisiatif pulang untuk mengabarkan ini pada Baginda." 

Raja kembali berpikir. Ia heran, kenapa para raja Negeri Tanah Atas hanya mengirim panglima perang, tidak mempimpin pasukannya sendiri. Berarti jumlah pasukan yang dikirim tidak terlalu besar dan bukan pasukan utama. Lagipula mana mungkin Pasir Hitam mencapai Wui sedangkan masih harus berhadapan dengan Gazhar, Kabut Berisik, Weitang dan Republik Tuizka. 

"Aku terima laporannya, Perwira Hanra. Panglima Gao dan Aku akan menyusun rencana. Istirahatlah. Kau, atas ijinku, boleh memilih dimanapun di Chang'ze tempat untukmu beristirahat."

Pertemuan itu selesai di pagi hari. Ia sepakat bahwa Pasir Hitam adalah ancaman, tetapi apa yang dikatakan Hanra terlampau berlebihan. 

"Mana ada orang yang bisa menyemburkan api dari mulutnya. Atau terbang seperti kupu-kupu sambil mengeluarkan bola-bola api dari matanya. Mungkin kita perlu mengganti perwira telik sandi yang baru," Panglima Gao mengutarakan pendapatnya.

Esoknya pesta tarian yang sempat tertunda kembali digelar. Kali ini digelar di alun-alun barat. Semua pembesar, bangsawan dan juga rakyat menikmati. Putri Giok menari dengan gemulai. Ia menarikan tarian Seruling Emas dan Genderang Cinta yang Merdu. 

Semua mata terpana. Bahkan ada yang sampai tidak berkedip. Raja tampak bangga dengan putrinya. Ia yakin, bahkan jikalau Kaisar Kegelapan itu benar-benar nyata, ia pasti akan berubah jadi baik hati ketika melihat putrinya menari.

Di puncak acara, mereka disuguhi arak dan anggur terbaik dari raja. Semua bergembira. Lalu Putri Giok naik panggung. Raja memeluknya. Semua bertepuk tangan. 

"Perhatian, perhatian!" Suara Perdana Menteri menggelegar dari pengeras suara. Semua orang akhirnya hening. Raja kemudian mengambil alih radio dan berbicara dengan lantangnya. 

"Hari ini Putri Giok telah memasuki masa dewasa. Ia akan menjadi putri seluruh bangsa Wui" Semua bersorak dan bertepuk tangah, termasuk Jenderal Rei yang ada di sisi kanan Raja.

Tiga Pendekar Naga - Bab 2
Tiga Pendekar Naga - Bab 2

Raja Wui lalu memberikan radio pada Rei. Sang jenderal menerimanya. Tetapi sejurus kemudian raja berdiri sambil memegang pundaknya.

"Dengarlah rakyatku. Hari ini juga ada kabar bahagia. Ada seorang pria yang telah berhasil merebut hati Putri Giok. Dia akan menjadi tunangan putriku. Dia adalah Jenderal Rei!"

Semua orang terkejut dan hening. Beberapa kecewa karena itu berarti peluang mereka menjadi raja seketika hilang. Namun kemudian sorak-sorai pecah. Jenderal Rei hanya tersenyum malu. Raja lalu menggandeng Rei di kanan dan Putri Giok di kiri.

"Ayo berpesta!" Raja berseru. Semua kembali menari dengan gembira.

Dari jendela, Hanra melihat itu semua. Ia menggelengkan kepala.

"Bagaimana mungkin Wui punya raja seperti dia!" Ia berucap cukup keras.

Di sampingnya, Baginda Ratu Thebe hanya tersenyum. Ia lalu mendekat pula ke jendela. 

"Anakku memang cantik. Rei juga tampan. Apa masalahnya?"

"Suamimu masalahnya!"

"Sudahlah, lagipula siapa yang percaya pada tokoh Kaisar Kegelapan yang kau ceritakan itu. Mana ada orang bisa terbang? Kau pasti mendengar dari orang yang salah." Ratu mengambil mahkotanya dan berniat keluar. Ketika ia hendak membuka pintu, Hanra mengucapkan sebuah kalimat yang cukup meresahkannya. 

"Aku tidak mendengarnya, aku melihatnya sendiri."

Cerita Sebelumnya | Cerita Selanjutnya 

Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "Tiga Pendekar Naga (Bab 2)"