CERITA TENTANG SEBUAH SUDUT
Sebagai seorang gelandangan aku mengenal hampir tiap inci kota ini. Mulai dari gedung balai kota yang mewah, sampai kepada sudut perkampungan yang kumuh dan kotor. Mulai dari taman kota yang indah, sampai kepada tempat pembuangan akhir yang jorok dan busuk.
Tapi kali ini aku ingin menceritakan sebuah tempat yang mungkin tak pernah terbayang, bahkan dalam mimpimu sekalipun.
Awalnya hanyalah sebuah cerita dari
mulut ke mulut sesama kaumku. Lalu seperti bangkai tikus di tong sampah yang
baunya menguap ke udara, berita ini lantas menyebar di kalangan kami semua.
Tapi anehnya hanya kami, atau setidaknya aku, yang mau repot-repot ambil pusing
mengenai hal itu.
“Sudahlah urus saja urusanmu Kang. Orang lain saja tidak ambil
pusing!”, kata pacar gembelku.
“Mereka tidak ambil pusing karena
mereka tidak tahu”, jawabku.
“Kata siapa mereka tidak tahu, lebih
baik akang ngegelandang lebih giat.
Katanya mau membelikan aku kalung”
Memang susah bicara dengan
gelandangan. Mungkin itulah sebab mereka menggelandang, karena mereka tak mau
repot-repot memikirkan hal lain.
Atau bisa juga karena hanya sisa-sisa nasi dan
ikan asin yang masuk ke perut mereka, sehingga otak mereka tak cukup bergairah
untuk memikirkan hal yang lain.
Setelah merasa tak ada guna meminta
nasihat dari pacar gembelku, akupun bertekad akan mengambil keputusan sendiri.
Akan aku laporkan semuanya, sejelas-jelasnya. Siapa tahu mereka percaya dengan
mulut bauku ini.
Tapi sebelumnya untuk kesekian kalinya, aku ingin memastikan
terlebih dahulu, agar dapat menyusun laporan sebaik mungkin.
Aku ingat malam itu malam minggu,
tempat itu pasti sepi. Kecuali saat itu ada satu dua pendosa yang berpikiran
yang sama denganku, sehingga melakukan kekejiannya juga di saat itu.
Tempat itu sebenarnya hanyalah sebuah sudut pertemuan antara tembok
belakang sebuah gedung dengan tembok pembatas taman kota. Dan aku rasa tempat itu tak terlalu tersembunyi.
Bahkan aku yakin Pak Walikota
pun sering lewat kemari jika ingin menyampaikan permohonannya pada Sang Khalik.
Cuma ketika malam gelap, tempat yang lebih mirip sudut terkutuk itu terlihat
sangat gelap dan menyeramkan. Entah kenapa tidak ada penerangan disana.
Ketika aku sibuk mereka-reka kalimat yang akan kulaporkan, tiba-tiba dari
mulut gang muncul sepasang manusia. Ternyata mereka adalah sepasang calon
pendosa baru. Berjalan mereka perlahan menuju tempat itu.
Ketika sampai di
pojok sudut, si lelaki muda mengamati keadaan. Melongok-longok ia. Lalu adegan
sok dramatis tiba. Si wanita, yang tampak lebih muda dari lelaki itu,
merengek-rengek dan menangis haru. Setelah dengan sedikit rayuan, akhirnya ia
mau meletakkan sebungkus keranjang mungil itu di pojok sudut, lantas berlalu
gontai.
Seakan mendapat inspirasi aku berusaha merekam semua kejadian itu dengan
otakku yang pas-pasan. Berharap mampu untuk melaporkannya besok. Tiba-tiba lamunanku terhenti ketika t pintu gedung
belakang itu terbuka. Sesosok wanita keluar dari gedung itu dan memungut
bingkisan itu. Mungkin karena kaget, yang di dalam bingkisan pun menangis.
Dengan sigap wanita itu membawa bingkisan itu masuk. Entah sampai kapan ini
berhenti.
“Jadi itu laporan anda?”
“Benar pak?”
“Baiklah kalau begitu akan kami proses dan kami sampaikan pada pihak yang
berwajib”
“Terima kasih Pak”, ucapku bangga. Ingin segera kutemui pacar gembelku dan
mengatakan kalau ternyata di mata hukum gembel pun boleh bicara. Kepala polisi
setengah baya yang berwajah tegas dan berwibawa itu adalah bukti nyata bahwa
masih ada yang peduli dengan ini semua.
“Ah masak kang?”
“Dasar, makanya kalau jadi orang jangan berpikiran sempit. Mentang-mentang
gembe!” ujarku puas. Iapun hanya mampu mengangguk sambil meremas jemariku.
Mungkin kagum padaku.
Malamnya, entah mengapa aku mengunjungi sudut sialan itu. Aku berharap sepasukan polisi datang dan
menangkap para pendosa yang tak bertanggung jawab disana. Tapi ternyata aku
salah. Di malam itu, seperti malam-malam yang lain, tetap ada saja pasangan
terkutuk yang membuang buah cinta terlarang mereka di sudut laknat itu.
Sebenarnya bagiku itu sudah biasa. Tapi yang membuat aku ngilu adalah ternyata
malam itu si pendosa adalah seorang lelaki setengah baya yang berwajah tegas
dan berwibawa yang aku temui tempo lalu.
“Jadi di sini mas tempatnya?”
“Iya, aku juga baru tahu dari si gelandangan itu tadi siang”, ujarnya
enteng sambil membuang sebuah bingkisan. Setelah itu, seperti biasa muncul
seorang wanita dan membawa masuk bingkisan itu.
Sebenarnya aku tak akan repot-repot untuk mengurusi ini semua, andaikan
mereka tahu yang sebenarnya. Dahulu memang seorang pemuka yang baik hati mendirikan tempat itu, agar semua
jiwa yang tidak diinginkan mampu tetap hidup. Tapi semenjak kematian sang
pemuka, yayasan miliknya bangkrut. Terpaksa sebagian besar jiwa-jiwa yang tak
diinginkan itu dijual, agar mampu menghidupi sebagian kecil jiwa lainnya dan
yayasan.
Tapi mungkin pacarku benar, siapa mau peduli dengan ucapan yang keluar dari
mulut gelandangan
Posting Komentar untuk "CERITA TENTANG SEBUAH SUDUT"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.