Suatu Sore di Dennis' Kitchen (CERPEN)
Seorang lelaki paruh baya tertunduk lesu. Gelas kristal mungil yang beberapa menit lalu terisi vodka impor langsung dari Rusia, telah tandas. Berkali-kali ia melihat pergelangan tangan kanannya. Sebuah Swiss-Army imitasi berwarna perak melingkar indah di situ. Hadiah dari bosnya karena berhasil closing bulan lalu.
Dua meter ke kanan dari lelaki itu, seorang kakek dengan janggut yang sudah memutih namun rambut kepala yang masih hitam legam sedang asyik membaca koran. Sebuah harian terkenal, yang analisis politiknya sering meleset tapi ramalan ekonominya merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Sambil mengelus-elus lembut keningnya, si kakek nampak teliti membaca suatu kolom, tentang relasi antara harga minyak dan inflasi yang kian menggila.
Dennis Kitchen |
Di belakang meja, tampak dua orang pegawai. Yang pria, adalah sang pegawai senior sekaligus pemilik bar itu. Seorang pria kelahiran Austria yang aksen Ibraninya masih sangat kental terasa, terutama ketika ia marah pada rekan kerjanya atau membaca berita internasional dari BBC tentang kerusuhan di Timur Tengah.
Sedang gadis itu, seorang wanita yang sedang beranjak dewasa. Pinggulnya aduhai dan senyumnya sangat membunuh. Sayang, celemek kusam coklat yang menempel di dadanya merusak kesempurnaan penampilannya.
Dennis’ Kitchen memang bukan bar biasa. Ia sepi justru ketika di hari Sabtu. Dan hari-hari istemewa. Seperti sekarang, sebuah malam terakhir di penghujung 2016. Mayoritas loyalis setianya sibuk dengan urusan masing-masing. Para pelaut sudah pasti akan menuju Anfield, menyaksikan klubnya bertanding. Kali ini sang lawan adalah si calon juara liga, Manchester City.
Dennis’ Kitchen memang markas tidak resmi bagi para hantu kapal ini. Sejak awal masa revolusi industri bahkan. Dulu kabarnya tempat ini adalah sarang pelaut komunis yang berkumpul untuk menenggak bir, menyesap cerutu Jawa dan menggosip. Tetapi bagi pemerintah, mereka sedang melakukan permufakatan jahat.
Di era perang dunia kedua, tempat ini menjadi pertemuan bagi para anggota Royal Air Force dan kekasihnya. Ada yang kemudian menangis tersedu begitu tahu sang pujaan hati harus berlaga di Perancis Selatan, neraka terpanas Eropa. Ada yang senyum-senyum kecil ketika tahu sang kekasih tetap berada di dalam negeri.
Dennis’ Kitchen memang tempat bersejarah. Hanya saja dari dulu ceritanya tetap sama. Pusatnya kesedihan. Kesenduan. Kesenyapan. Maka jangan heran hanya segelintir orang yang cukup edan untuk kemari di hari Natal atau Tahun Baru. Jikalau ada, maka dipastikan mereka sedang memendam banyak masalah.
Seperti di sore menjelang malam saat itu. Seorang lelaki gagal yang lari dari kejaran debt collector. Ia berutang tiga ribu Pounds, jumlah yang cukup untuk membuatnya tidak berani pulang ke flat kumuhnya. Apalagi ternyata dia berutang pada para gangster Turki. Dua bulan lalu seorang pegawai asuransi meregang nyawa dengan sangat tidak bahagia. Lehernya tergorok, mukanya lebam dan tulang-tulang belakangnya hancur. Nampaknya ia dijadikan samsak hidup sebelum diputus lehernya.
Lelaki yang ternyata bernama Sam Floyd itu tidak sendirian. Seorang kakek tua, yang ternyata adalah Richie Thompson juga ada disana. Ia sebenarnya adalah pria yang baik, hanya berada di situasi yang buruk. Dulu ia dikenal sebagai Richie The Winner. Makau dan Las Vegas adalah tempat pikniknya. Instingnya kuat dalam segala jenis judi.
Sayangnya di era kapilatis digital ini, insting kadang tidak berguna. Ia bertaruh harga minyak akan turun, karena ia merasa para teroris ISIS pasti hancur disikat Putin dan Al-Assad. Tapi kemudian berita terbunuhnya duta besar Rusia mengubah segalanya. Harga minyak meroket, tetapi nasibnya meluncur ke bawah.
Itu belum seberapa. Di ujung temaram sana, seorang gadis sedang berada antara hidup dan mati. Dia adalah Alicia Fonte, seorang mahasiswi sejarah seni sekaligus model panas yang sedang naik daun. Karirnya memang cemerlang tapi hidupnya penuh kegelapan. Gadis pekerja keras ini memang kreatif dan luar biasa. Selain sibuk mempelajari lukisan-lukisan era Gothic dan berpose di depan kamera, ia juga menyambi menjadi isteri gelap seorang calon perdana menteri sebuah negara di teluk.
Akunnya di-hack dan selusin video beserta puluhan foto top secret-nya bersama sang politikus menyebar. Keinginannya hanya satu, yaitu menonaktifkan semua akunnya sebelum salah seorang begundal suruhan suami tak sahnya itu datang dan melubangi kepalanya dengan timah panas. Cinta terkadang memang menyusahkan kawan.
“Jadi, Michelle? Masih merasa kau yang paling menderita di tahun ini?”
“Well, mungkin tidak. Tapi andaikan recehan yang aku terima dari waktu yang aku korbankan untuk terjebak dan mendengarkan kisah-kisah horor mereka bisa bertambah barang satu atau dua pounds, pasti ini tahun baru yang sangat indah bos.”
“Boleh saja, asal jangan lupa untuk mengepel lantai dua kali lagi.”
“Siap bos. Ternyata lembur di tahun baru ada hikmahnya juga.”
“Percayalah, aku sudah mengalaminya seumur hidupku. Oke, dua jam lagi kita tutup. Tolong ambil ember dan sabun di sana.”
“Er... Bos, sebenarnya lantainya sudah aku pel tadi siang tadi.”
“Kau lihat tiga pria dengan setelan hitam di ujung jalan sana. Di sebelah telepon umum di depan restoran Taiwan itu? Mereka adalah orang Turki yang dimaksud teman kita Sam.”
“Oh aku mengerti Bos.”
“Good girl.”
Oh, Bos satu lagi. Jika ternyata bukan hanya darah, tapi juga otak yang berceceran, apa aku akan mendapat tambahan bonus lagi.”
“Kerjakan atau aku kirim kau kembali ke rumah bordil!”
“Baik Bos, laksanakan!”
Begitulah drama itu terjadi lagi dan lagi. Dennis’ Kitchen hanyalah satu dari sekian panggung yang dimainkan oleh anak-anak manusia. Intinya, jangan cari masalah. Happy New Year!
Hepi nyuyer di bulan April min?
BalasHapusTelat posting saya gan. Thanks dah mampir ya. Baxa cerpen yg lain juga ya.
Hapus