Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Hutang Membawa Sial

Salah satu kemewahan terbesar dari manusia adalah hidup sejahtera. Namun di negeri yang korup, orang akan sering cenderung jatuh dalam kemiskinan.

Orang miskin bisa berpotensi makin miskin ketika mereka gagal untuk menahan godaan utang. Para pemberi hutang akan datang dengan segala mimpi : bunga yang murah, kemudahan survey hingga tidak adanya jaminan.

Namun apakah benar demikian? Aku pribadi sekarang sudah mengubah pandanganku. Hutang, entah itu bank, koperasi, lembaga keuangan atau lintah darat adalah sama busuknya.

Aku sudah terjerat hutang dan entah apakah aku bisa melanjutkan hidupku. Semua gajiku yang kuperoleh dari pekerjaan utama plus sampingan terasa sia-sia. Keringatku mengering sedang aku tak mampu mendapatkan hasil kerja yang sudah aku lakukan. Semua itu karena utang dan bunganya yang mencekik.

Dalam sebuah esainya, Ester Pandiangan dengan apik menceritakan bagaimana dirinya punya pengalaman mengerikan dengan para penagih hutang. Wanita tangguh yang tulisannya sudah muncul dimana-mana itu benar-benar memperingatkan akan bahayanya utang bagi kehidupan.

Aku mulai berutang 5 tahun lalu dan harusnya ketika tulisan ini sudah terpublish (aku menggunakan mode penjadwalan), maka hutangku lunas. Harusnya.

Namun di tengah-tengah itu aku berutang lagi. Dan lagi. Dan lagi. Aku terkena godaan mudahnya berutang. Semua pemberi utang menganggapku sebagai subyek atau obyek yang lezat.

Dan kini aku menerima akibatnya. Keuanganku limbung. Aku hancur. Kerja dari pagi hingga pagi hanya untuk membayar utang beserta bunganya. Surat yang aku tulis untuk penundaan pembayaran utang serasa sia-sia. Jancok memang. Aku hanya bisa mengutuki hidupku. Aku depresi.

Ilmu Utang

Semua ini tentu saja tidak serta merta karena kesalahan mereka yang memberi utang kepadaku. Sebagai orang yang percaya pada kemampuan diri sendiri dan sudah tak mau lagi percaya pada pertolongan alam gaib, aku murni menyalahkan kebodohanku. Asu! 

Aku memang dungu. Utang yang aku ambil bukan untuk kepentingan produktif. Alhasil tentu saja harus dibayar dan menjadi beban berat untuk gajiku.

Inilah pasal pertama dari kitab ilmu mengelola utang. Berutanglah untuk urusan produktif dengan potensi keuntungan yang besar, jauh melebihi utang tersebut beserta bunganya.

Lebih baik tidak mengadakan upacara pernikahan, peringatan seribu hari atau punya rumah jikalau memang semua berasal dari hutang. Semua itu hanya akan membuat hidup sengsara. Neraka seakan datang lebih cepat. Walau aku tak percaya neraka.

Berutang hanya untuk kepentingan konsumtif akan membawa siapa saja pada hari-hari yang malang. Pada waktu-waktu yang gulita. 

Pastikan Bisa Membayar

Walau aku tak mau tahu apa itu dosa atau pahala, tetapi aku punya keyakinan sederhana. Jangan jadi bajingan. Jika punya hutang, haruslah dibayar.

Maka jangan pernah berutang daripada kamu menyengsarakan orang yang memberimu utang, bisa itu sodara, tetangga atau bank. Siapa saja. Jangan jadi keparat.

Kalau kau tak kuat menderita, mati saja. Tidak apa-apa, hidup toh nantinya juga bakalan mati. Anggap saja kau memang apes. Sakit sedikit lalu selesai. Daripada hutang sana sini lalu kabur. Orang lain yang menderita. Jangan jadi binatang yang tak tahu diuntung. Manusia tak tahu diri. 

Jangan karena kau menganggap utang itu jahat lalu menolak membayar. Itu bukan saleh, itu munafik. Orang lain yang susah. Sembayangmu sia-sia. 

Melanjutkan Hidup

Utang membawa sial
hutang membawa bencana

Aku tak tahu apa aku akan kuat dengan semua ini. Semoga saja. Tetapi aku sudah lama menghapus kata semoga. Aku juga tak yakin pada prediksiku. 

Seperti tahi yang terseret arus sungai, aku tidak punya apa-apa lagi. Mau dipukuli, mau dipenjara, aku ikhlas jika memang nanti tidak bisa membayar. Dibunuhpun tak apa, karena memang itu salahku. 

Aku tetap memberi dan menyumbang bukan karena pahala. Karena aku ingin menolong. Bukan agar suatu kekuatan di langit sana melihatnya lalu memberikan bantuan seperti aku membantu orang yang jauh lebih susah bagiku.

Menolong orang, termasuk memberi bantuan finansial bagiku bukan investasi. Aku tak percaya roda nasib atau kebaikan akan mendatangkan kebaikan. Pada kasus tertentu yang masih dinalar iya, tetapi jika itu untuk bekal di kehidupan nanit atau menyenangkan sosok tertentu, tidak. 

Apa yang terjadi, terjadilah. 

Terima kasih sudah membaca. Semoga aku masih bisa menulis untuk kalian. 

Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "Hutang Membawa Sial"