Pramodya Ananta Toer dan Nasib Naasnya
Pramoedya Ananta Toer adalah penulis terbesar Indonesia sampai saat ini. Selain produktif, tulisannya berisi banyak hal-hal getir yang membuat emosi dan jiwa teraduk-aduk. Meskipun penganut surealisme, Pram adalah seorang pencerita yang hebat dengan nuansa 'mistik' dimana kisah-kisah ciptaannya terus abadi walau berlatar masa lalu.
Bagiku pribadi, aku tak pernah menjumpai karya-karya yang begitu konsisten menceritakan dengan jujur penderitaan, kemalangan nasib, banalnya umat manusia dan kelicikan yang picik dari semua orang dengan berbagai latar belakang seperti yang pernah dikisahkan Pram.
Maka tak salah berkali-kali dalam berbagai kesempatan aku mengatakan bahwa jika ada pertanyaan siapa penulis novel terbaik di Indonesia, maka Pramoedya Ananta Toer adalah jawabannya.
Siapa lagi pengarang Indonesia yang karyanya sudah terbit dalam 41 bahasa, dipertimbangkan mendapat Nobel Sastra, serta dikirimi mesik tik oleh Jean Paul Sartre, (meskipun katanya alat itu ditahan Angkatan Darat dan Pram diberi piranti lain yang lebih jelek), salah satu filsuf paling terkenal di dunia? Tidak ada kecuali Bung Pram!
Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. (Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia)
Ada beberapa hal yang ingin aku ulas dari Pramoedya walaupun tentu saja tulisan ini penuh dengan subyektivitas pribadi.
- Pertama, aku ingin mengulas mengenai kehebatan Pram dalam menceritakan detail sejarah. Ia seperti guru sejarah yang pandai menguraikan kejadian-kejadian di masa lalu dengan begitu indah sesuai gaya khas seorang pendongeng. Membuat hal-hal yang sudah lewat seperti sebuah hal yang sungguh sayang untuk dilupakan begitu saja.
- Kedua, aku terkagum-kagum pada Pram yang begitu konsisten mengabarkan penderitaan, kekejaman, kekejian, kejijikan dari orang-orang bengis yang berusaha dihapus dari sejarah manusia. Ia memposisikan dirinya sebagai pembela korban, walau tentu saja dirinya tak punya kuasa untuk mengadakan tuntutan. Namun dengan kisah-kisah semacam Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer atau Perburuan, orang jadi tahu betapa biadabnya Jepang dan bagaimana sampai saat ini negeri itu tak punya kewajiban sama sekali untuk meminta maaf pada nenek dan ibu dari bangsa-bangsa Asia yang sudah mereka siksa.
- Ketiga, proses kreatif yang luar biasa yang telah dilalui oleh Pramoedya Ananta Toer dalam menghasilkan karya-karyanya. Meski banyak tulisannya yang tidak akan mampu kita baca lagi karena dirampas secara laknat oleh Belanda, tetapi apa yang tersisa sudah lebih dari cukup untuk menyiratkan bagaimana hebatnya sosok Pram. Dengan kondisi yang serba sulit ia masih mampu melahirkan novel-novel hebat.
Tiga hal di ataslah yang akan aku jadikan fokus dalam tulisan karya ini. Tentu saja ada banyak nama penulis novel terbaik Indonesia saat ini, tetapi ciri khas, perjuangan, kerja keras, dan kemalangan nasib yang dialami Pram adalah gambaran unik bagaimana ternyata orang baik tetap dipermainkan takdir. Meski begitu ia menolak untuk menyerah.
Belajar Sejarah dari Pram
sosok Pramodya Ananta Toer |
Buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itu bertarikh 2001. Ia memiliki judul yang langsung menerbangkan imaji serta mengusik nurani. Terpampang kalimat dengan bunyi Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer.
Nampaknya editor sudah mengambil ancang-ancang yang mantab : bahwa naskah buku ini ditulis tidak dengan kondisi pada umumnya.
Naskah aslinya yang diberikan kepada KPG adalah dalam bentuk fotokopi dengan beberapa huruf atau mungkin kata yang sudah hilang. Tentu sulit untuk memproses bahan seperti ini, terlebih bentuknya unik. Ia berada di tengah-tengah dua wujud, antara novel dan repertoar.
Tentu amat mudah menolak menerbitkan tulisan yang semacam ini, secara bahkan ketikan rapi yang memenuhi syarat saja banyak yang ditolak. Tetapi satu alasan kenapa naskah ini harus terbit, yaitu : karena yang menulis adalah Pramoedya Ananta Toer.
Pram menulis Perawan Remaja dengan kekuatan tak kasat mata yang dahsyat. Ada sihir di dalamnya. Kalimat-kalimat yang dilahirkan tidak bermajas-majas atau berkelok-kelok, namun langsung pada intinya dengan ketegasan yang jelas dan kelugasan yang padat. Tetapi justru dari situ muncul nuansa yang mampu membangkitkan amarah, kejijikan, kutuk dan penyesalan.
Dalam novel tipis tersebut, Pram memuat kisah-kisah tak terekam sejarah dari para perawan yang ditipu oleh Jepang.
Ia membuat sebuah daftar yang sangat panjang dan kalau boleh dikatakan cukup detail untuk ukuran repertoar waktu itu, tentang nama-nama atau siapa-siapa yang dikibulin Jepang. Katanya mau disekolahkan di Tokyo, tak tahunya hanya jadi makanan bagi tentara Jepang di Birma, Vietnam, ataupun kapal-kapal perang milik angkatan laut Dai Nippon.
Dari halaman pertama sampai terakhir ada dua cara Pram menyajikan mereka-mereka yang sekarang tak tahu bagaimana rimbanya. Melalui listicle dan yang paling indah dengan kisah narasi.
Ada daftar para Raden Rara dan remaja putri calon penerus bangsa yang hebatnya Pram bisa tahu asal dan secuil keterangannya. Termaktub untaian inisal dan nama dari berbagai penjuru, mulai dari Kudus, Purworejo, Prambanan, Brebes dan lainnya.
Inilah piranti yang tepat belajar sejarah kemesuman, kebrutalan dan iblisnya bangsa Jepang. Entah berapa angka yang pasti, belasan ribukah atau jutaan, wanita yang disantap para tentara penyembah matahari itu.
Sejarah kelam yang mungkin tak cocok untuk mereka yang tidak terbiasa dengan kejujuran yang banal.
Sang guru sejarah itu, Pram tentu saja, mengurainya dengan begitu rupa agar menjadi awas bagi generasi sesudahnya. Bukankah itu fungsi mempelajari masa lalu, agar tidak terjatuh kembali sesudahnya.
Jepang datang dengan janji manis tapi palsu. Seperti itu juga yang dikisahkan dalam novel Perburuan. Orang-orang Jepang yang kini hanya bisa mengekor Amerika Serikat tersebut dulunya sungguh setan yang layak dikutuk.
Dengan semena-mena mereka menindas rakyat dan paling jahatnya, bekerja sama dengan para wedana, bupati dan lurah.
Raden Hardo, seorang Syodancho PETA memberontak. Ia muak melihat Nipppon membunuhi serta merampok rakyat.
Biadabnya, dia justru dikejar-kejar boneka-boneka Kaisar Jepang yang berkulit coklat, yakni para Keibodan dan Seinendan. Sedang lurah dan polisi pribumi yang juga sama laknatnya malah mengerahkan rakyat untuk memburu mereka yang berjuang demi kemerdekaan.
Tidak hanya rekaman-rekaman berbentuk kondisi sosial masa lalu, Pramoedya Ananto Toer juga fasih menjelaskan bentang alam banyak tempat. Entah dia benar-benar pernah mengjungi tempat tersebut ataukah hanya mengandalkan ingatan dari pembicaraannya dengan banyak orang.
Dalam Bumi Manusia, salah satu novel terbaik Indonesia hingga saat ini, Pram secara gamblang menjelaskan daerah Darmo di Surabaya yang kini tentu saja sangat asing bagi orang-orang yang mengaku arek suroboyo asli.
Aku sendiri harus bertanya pada mereka yang memang pernah mendengar kisah-kisah lama dari orang-orang sepuh untuk akhirnya mengiyakan penjabaran Pram.
Ada pemukiman milik Belanda jahanam yang memperbabu orang-orang Jawa. Menindas mereka, menghisap tenaganya lalu kawin sana sini dengan pribumi. Itunya fenomena pergundikan yang melahirkan istilah nyai.
Ia juga terampil menjelaskan Jakarta, Bogor, Cepu, dan tentu saja Blora. Menikmati karya-karya Pram adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Ia lebih hebat dari semua guru sejarah yang pernah mengajarku. Tanpa tatap muka dan hanya membayar bukunya, aku sudah mendapat pengalaman menjelajah gua sampur yang mistis, naik kereta dari Surabaya menuju lumbung gula di Sidoarjo lama atau menelusuri gang-gang sempit tempat bermukin orang Cina yang merantau dan cari hidup di Jakarta tempo dulu.
Astuti Ananta Toer akhirnya sedikit banyak mengungkap bagaimana karya-karya Pram bisa sangat bernilai sejarah tinggi.
Ia mengatakan ternyata Bumi Manusia adalah hasil riset dan kegigihan Pram mengumpulkan arsip-arsip lawas dalam bentuk kliping mengenai kejadian di masa lalu. Novel dengan tokoh utama Minke dan Nyai Ontosoroh itu bergenre roman dengan latar belakang kronik Hindia Belanda antara 1898-1918 yang penuh bara api kesadaran dan tirani orang londo yang menganggap penduduk Indonesia masih setengah manusia.
Minke sendiri berarti adalah monyet. Apakah ada pesan dari Pram bahwa kulit putih Naderland dahulu menganggap nenek moyang kita derajatnya sama dengan kera? Jika iya, pantaslah kita sematkan bangsa Belanda sekarang adalah keturunan kaum rasis yang tidak tahu diri, menghina orang lain tapi hidup dari tenaga dan sumber daya jajahannya.
Akhirnya dalam poin ini aku harus angkat pujian bagi penulis yang berpendirian seteguh karang tersebut. Ia adalah pengarang dengan daya ingat yang luar biasa, wawasan seluas samudera dan keterampilan mengisahkan sejarah berkualitas wahid.
Adil Sejak Dalam Pikiran
foto Pramodya muda |
Adegium di atas mudah diucapkan tetapi maha sulit dilakukan. Konsistensi Pram melawan Londo, Jepang, dipenjara Sukarno, dan dibuang Suharto adalah bukti tak terbantahkan mengenai garis hidup yang teguh dari penulis kelahiran Blora itu.
Ia punya sesuatu yang terus menerus dipegang, yakni membela kebenaran. Ia menolak masuk dalam pembagian ideologi yang kasar dan serampangan serta memilih jalannya sendiri, Pramisme.
Pramisme atau Pram-isme adalah sebuah keunikan yang dibangun Pramoedya Ananta Toer melalui karya, tindakan dan pernyataannya.
Mulai dari Bukan Pasar Malam yang terbit di tahun 1951 hingga Cerita Dari Digul, Pram sukses menunjukkan dirinya sebagai orang yang tak bisa dibentuk orang lain, termasuk Suharto sekalipun.
Ia adalah pemilih dan dalam pilihannya ia berada bersama barisan orang-orang yang memperjuangkan keadilan. Ia ada bersama orang Jawa yang dianggap kera oleh kolonialis Belanda, orang Tionghoa yang mencari jatidiri di tanah rantau, anak raden yang bergejolak dalam nuansa revolusioner mengakhiri feodalisme, para tahanan politik yang tersiksa lahir batin di tanah pembuangan hingga wanita budak nafsu Jepang yang hingga kini tak pernah dibela dengan serius.
Menulis seperti Pram berarti memilih jalan untuk menyelidiki kesejatian diri, membongkar kepalsuan, kemunafikan dan kelicikan demi mendapatkan keuntungan. Pram menulis untuk bangsa yang terjajah, untuk mereka yang tak punya suara ketika ditindas dan untuk anak zaman baru masa depan.
Rumah Kaca mengisahkan kepedihan Minke yang mati tanpa dikenang siapapun. Ia tumbang dibawah kelicikan intel pemerintah. Sebuah antiklimaks dari kisah-kisah yang melulu memastikan yang benar selalu menang.
Sebelum Rumah Kaca, dirinya sudah menciptakan Jejak Langkah mengisahkan keinginan Pram akan sebuah kondisi yang revolusioner, membangunkan kesadaran rakyat pada energi besar yang sebenarnya mereka miliki. Pantas sekali novel ini dibredel karena pemerintah korup akan sangat ketakutan belangnya diketahui masyarakat lalu bangkit dan melawan tirani yang sudah mereka bangun selama ini.
Pram adaalh contoh nyata yang sulit untuk diikuti. Tentang mereka yang melahirkan karya emas namun senantiasa berisi kejujuran serta perjuangan membela keadilan. Apakah ia sudah berada satu baris bersama Leo Tolstoy ataupun George Orwell?
Apakah ada yang mampu membatasi Pram untuk berkarya? Selain kesehatan dan kematian, rasanya tidak ada yang bakal mampu.
Ia diburu, dipenjara dan dilarang untuk menulis. Tetapi nampaknya itu semua sia-sia dalam menahan kreativitasnya menulis
Ia terus menerus menciptakan karya. Tak ada kertas, ia tulis di dalam pikiran. Sebuah hal yang tentu saja tidak mudah dan belum tentu semua orang mampu melakukannya.
Pram dengan keras kepalanya adalah simbol untuk ungkapan berkarya tanpa batas. Kehebatannya dalam menulis ia tak serta menjadi tinggi hati.
Ada hal unik mengenai pembatasan yang dialami oleh Pram. Ada dugaan Pram memang dijegal untuk tidak menerima nobel sastra. Hipotesa lainnya karena buruknya penterjemahan ke dalam bahasa asing.
Menulis seperti Pram berarti menulis dengan hati, jiwa dan visi yang jelas. Bersatunya kemanusiaan dan kreativitas akan menghasilkan energi yang tidak mampu dibungkam oleh apapun.
Pram pernah berselisih dengan banyak orang, termasuk para pengarang lainnya. Tetapi itu tak membuatnya mengendur dari prinsip yang telah ia bangun.
Ia pernah dipermasalahkan oleh Mochtar Lubis ketika mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay. Mochtar mengancam akan mengembalikan medali Magsaysay jika panitia tetap bersikukuh memberikan award bergengsi itu pada Pram.
Tetapi nyatanya Pram mendapat sokongan dari banyak kalangan. Bahkan ia justru mendapatkan itu ketika masih dipenjara oleh rejim Suharto. Selain Magsaysay, penulis dan pegiat dari LEKRA itu jua mendapatkan banyak penghargaan Freedom to Write Award dari PEN pada 1988, penghargaan The Fund for Free Expression New York (1989), Wertheim Award (1995), UNESCO Mandanjeet Singh Prize (1996), Honor Award dari University of California Berkeley (1999), Chevalier de l'Ordre Des Artset Des Letters dari Kementerian Budaya dan Komunikasi Prancis (2000), dan penghargaan lainnya.
Pram dibentuk dengan derita dan ketidak adilan. Sama seperti peribahasa 'kapak lupa, tetapi pohon akan selalu ingat', tidak mudah memaksa Pram untuk mengampuni orang-orang yang menjebloskan hidupnya ke penjara.
Pram hanya ingin keadilan. Dia dengan gagah menjawab surat GM Muhamad. Pramoedya yang adalah korban tentu punya hak karena dia yang dipenjara. Dia yang karyanya dimusnahkan. Dia yang diburu-buru.
Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa. (Pramoedya Ananta Toer, mantan tapol Order Baru)
Pram menulis dengan gagah surat berjudul Saya Bukan Nelson Mandela. Sebuah balasan yang luar biasa telaknya bagi siapapun yang memaksanya untuk memaafkan.
Kematian Pramoedya Ananta Toer
Pada 30 Aprik 2006, Pram meninggal. Umurnya sudah sepuh dan tubuhnya telah renta. Ketika berpulang, ia telah berada di alam kebebasan, bukan lagi penjara. Raganya ada di tengah-tengah anak dan cucunya. Juga mereka yang mengagumi karyanya.
Meski kini Pram sudah tiada, sekali lagi itu tidak menghalangi gema dari kisah-kisah yang pernah ia tulis. Meskipun nampaknya pesan dan impiannya belum tentu bisa terwujud dengan segera, tetapi api kesadaran yang sudah ia nyalakan telah menjalar membakar semangat jiwa-jiwa muda yang menggandrunginya.
Selamat jalan Pram! Terima kasih sudah berjuang dan berkarya.
Posting Komentar untuk "Pramodya Ananta Toer dan Nasib Naasnya"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.