Kenapa Banyak Orang Berhenti Menulis Blog?
Catatan Adi - Kenapa banyak orang tidak lagi ngeblog? Pertanyaan ini sebenarnya sangat mudah dijawab. Jawabannya karena banyak orang sekarang berhenti membaca blog.
Kejayaan blog di tahun 2005 hingga 2014 menjadi sebuah era yang sulit terulang kembali, sama seperti masa keemasan radio atau pita kaset. Pada masa itu, blog bukan hanya wadah menulis, tapi juga simbol kebebasan berekspresi di internet. Blogger menjadi sumber informasi, pengetahuan, dan hiburan alternatif selain koran dan televisi.
![]() |
Photo by Patrick Fore on Unsplash |
Perubahan Konsumsi Konten Masyarakat
Terlebih lagi, ketika ternyata blog bisa dimonetisasi, banyak orang yang kemudian menyulap blog pribadinya menjadi lebih profesional. Mereka mulai belajar SEO, riset kata kunci, dan teknik menulis yang ramah mesin pencari. Blogging berubah dari sekadar hobi menjadi profesi yang menjanjikan.
Namun, seiring berjalannya waktu, peta konsumsi konten berubah drastis. Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram mulai mengambil alih perhatian publik. Orang tak lagi punya waktu (atau mungkin kesabaran) untuk membaca tulisan panjang. Mereka ingin sesuatu yang cepat, ringan, visual, dan bisa langsung dibagikan. Blog, yang dulu menjadi sumber utama informasi alternatif, pelan-pelan kalah dalam pertarungan melawan algoritma media sosial.
Lalu datanglah era video. YouTube membuka jalan bagi para kreator untuk mengekspresikan diri dengan cara yang lebih dinamis. Tidak lama kemudian, TikTok dan Reels menambah kecepatan arus konsumsi konten, dari menit menjadi detik. Dalam lanskap seperti ini, tulisan panjang di blog terasa “terlalu lambat” bagi sebagian besar orang.
Tentu saja, bukan berarti blog benar-benar mati. Banyak blogger yang beradaptasi dengan perubahan zaman. Mereka tidak lagi menulis setiap hari seperti dulu, tetapi fokus pada konten yang lebih mendalam dan abadi, evergreen content. Tulisan-tulisan seperti tips karier, panduan produktivitas, atau ulasan mendetail masih punya tempat, terutama di hasil pencarian Google. Di sinilah blog menemukan perannya yang baru: bukan lagi sebagai pengganti media sosial, melainkan sebagai fondasi dari identitas digital seseorang. Termasuk menjadi lebih personal (blog personal) yang membahas pengalaman nyata yang dialami sang blogger.
Banyk Blogger Menyerah
Namun, tidak semua orang mau bertahan di dunia blogging yang makin teknis dan kompetitif ini. Dulu, cukup menulis jujur dari hati dan pembaca akan datang. Sekarang, penulis harus memahami SEO, kecepatan loading situs, mobile optimization, hingga strategi distribusi konten. Banyak yang akhirnya lelah sebelum sempat menikmati prosesnya.
Fenomena ini terlihat jelas ketika kita menengok ke belakang. Dalam daftar 25 blogger populer yang pernah ditulis oleh Darmawan di blog Panduan IM, hanya sekitar seperlimanya saja yang masih aktif menulis hingga hari ini. Sisanya? Banyak yang sudah beralih profesi, pindah ke platform lain, atau sekadar membiarkan blognya menjadi arsip masa lalu.
Begitu pula ketika kita mencari “blogger populer Indonesia” di mesin pencari. Nama-nama yang muncul sebagian besar adalah mantan blogger, atau blogger nonaktif yang sudah lama tidak memperbarui tulisannya. Ironisnya, daftar tersebut jarang diperbarui, seakan dunia blogging berhenti di masa lalu. Ini menunjukkan satu hal penting: blogosfer Indonesia belum benar-benar beregenerasi. Ada banyak pembaca baru di internet, tetapi sedikit yang memilih mengekspresikan diri lewat blog.
Blogging Belum Punah Seutuhnya
Padahal, keinginan untuk menulis dan berbagi tidak benar-benar hilang. Hanya medianya yang bergeser. Kini orang menulis di caption Instagram, thread X (Twitter), atau bahkan di kolom komentar TikTok. Bentuknya berbeda, tapi semangatnya sama: ingin didengar. Namun, media sosial tidak memberi ruang untuk kedalaman seperti yang ditawarkan blog. Apa yang viral hari ini akan tenggelam besok, sementara tulisan di blog bisa ditemukan bertahun-tahun kemudian lewat hasil pencarian.
Selain perubahan platform dan perilaku pembaca, faktor ekonomi digital juga punya peran besar dalam turunnya minat blogging. Dulu, ada masa di mana blogging dianggap sebagai profesi impian. Banyak orang rela keluar dari pekerjaan mereka, demi menjadi blogger penuh waktu. Mereka tergiur oleh kisah sukses para penulis yang hidup dari Google Adsense, program afiliasi, atau ulasan berbayar.
Namun sekarang, peta itu berubah total. Beberapa topik yang dulu menjadi andalan blogger, seperti teori konspirasi, misteri, atau fakta-fakta unik, kini kehilangan daya magisnya. Dulu, konten semacam itu bisa menarik ribuan pembaca dan puluhan komentar. Kini, pembahasan serupa justru lebih ramai di video YouTube atau forum daring.
Kita bisa melihat contohnya pada blog Mengaku Backpacker, blog yang dulu selalu dipenuhi komentar antusias, kini kolom komentarnya nyaris sepi. Bahkan blog Enigma, yang dulu menjadi ikon tulisan bertema misteri di Indonesia, kini telah lama berhenti memperbarui konten. Fenomena ini memperlihatkan bahwa bukan hanya blogger yang berubah, tetapi juga pembacanya. Internet yang dulu terasa seperti taman bermain ide, kini lebih seperti arus deras yang menggiring semua orang untuk cepat berganti topik.
Tulisan mendalam dan misterius yang dulu memancing rasa ingin tahu, kini kalah oleh konten cepat saji yang bisa ditonton sambil lalu. Dan ketika gaya konsumsi berubah secepat itu, wajar bila banyak blogger merasa kehilangan motivasi untuk menulis panjang.
Selain itu, beberapa topik yang dulu dianggap ladang uang, seperti “cara menghasilkan uang dari blog” atau “strategi niche Adsense”, kini tidak lagi menarik perhatian. Dunia internet sudah jenuh dengan konten serupa, dan algoritma mesin pencari makin ketat dalam menilai kualitas. Menulis artikel SEO saja tidak cukup; pembaca menginginkan orisinalitas, pengalaman nyata, dan kejujuran.
Secara realistis, mencari uang lewat blog memang tidak mustahil, tetapi semakin sulit. Untuk bisa bertahan, blogger harus memahami strategi jangka panjang: membangun reputasi, menjaga konsistensi, dan mengintegrasikan blog dengan platform lain seperti media sosial atau newsletter. Tanpa itu, pengunjung akan datang dan pergi tanpa bekas.
Menghargai Blogger Secara Material Belum Menjadi Budaya
Meski begitu, upaya untuk menyelamatkan budaya menulis panjang sebenarnya tetap ada. Dunia blogging modern mencoba berevolusi lewat platform seperti Medium dan Substack, yang menawarkan sistem langganan atau donasi langsung dari pembaca. Melalui dua platform ini, penulis kembali punya ruang untuk menulis panjang tanpa harus pusing soal algoritma, sekaligus mendapatkan dukungan finansial dari komunitas pembacanya.
Sayangnya, di Indonesia, gagasan seperti ini belum sepenuhnya hidup. Orang masih menganggap tulisan digital sebagai sesuatu yang “gratis” dan tak perlu dibayar. Ibaratnya, mereka lebih rela mengeluarkan uang untuk membayar jukir daripada berlangganan tulisan penulis favoritnya. Sistem membership atau donasi bagi penulis belum benar-benar menjadi budaya.
Akibatnya, banyak penulis berbakat yang akhirnya berhenti menulis bukan karena kehilangan ide, tapi karena kehilangan alasan praktis untuk bertahan. Mereka mencintai menulis, tapi juga perlu dukungan nyata dari pembaca. Selama itu belum ada, blog dan platform menulis panjang lainnya akan terus berjalan pelan — seperti lilin yang menyala di tengah badai media sosial.
Lalu, quo vadis dunia blogging? Ke mana arah perjalanan panjang ini akan berakhir?
Sebenarnya, mencari uang dari blog masih mungkin dilakukan. Masih ada ruang bagi penulis untuk mendapatkan penghasilan melalui review produk, artikel berbayar, atau bahkan membuka kelas online yang berangkat dari pengalaman dan keahliannya. Namun, semua itu tentu tidak mudah.
Blog pada akhirnya harus menentukan arah: apakah ingin tetap menjadi media personal yang berfokus pada ekspresi diri, atau berevolusi menjadi media independen yang berfungsi layaknya koran digital, hanya saja dikelola secara pribadi. Keduanya sah-sah saja — yang membedakan hanyalah niat dan konsistensi penulisnya.
Meski begitu, masih ada secercah harapan. Jika seorang blogger memiliki kualitas menulis yang luar biasa, bukan tidak mungkin akan muncul kelompok kecil pembaca garis keras yang siap mendukung dan bahkan “membayar” usahanya. Di luar negeri, hal ini sudah menjadi hal yang lumrah. Penulis dihargai bukan karena seberapa sering ia menulis, tetapi karena seberapa dalam tulisannya menyentuh pikiran dan perasaan pembaca.
Di Indonesia, mungkin budaya itu masih berkembang perlahan. Tapi internet selalu membuka peluang. Selama masih ada orang yang mencari tulisan jujur, reflektif, dan ditulis dengan hati, blog akan selalu menemukan pembacanya, meskipun jumlahnya tidak lagi sebesar dulu.
Pada akhirnya, blogging memang sudah berubah. Ia bukan lagi panggung utama, tapi tetap menjadi ruang yang tenang di tengah hiruk-pikuk dunia maya. Mungkin tidak banyak orang yang membaca, mungkin juga tidak ada komentar yang masuk. Tapi menulis di blog masih memberi satu hal yang langka di era sekarang: kebebasan untuk menjadi diri sendiri tanpa batas algoritma.
Dan mungkin, justru karena alasan itulah blog akan selalu punya tempat, bukan di puncak tren, melainkan di hati orang-orang yang masih percaya bahwa tulisan panjang tetap punya kekuatan.
Posting Komentar untuk "Kenapa Banyak Orang Berhenti Menulis Blog?"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.