Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Hari Raya Unduh-Unduh Sebagai Akulturasi Kristen-Jawa

Salah satu akulturasi budaya yang terjadi dalam agama Kristen adalah ritual Riyaya Undhuh-Undhuh yang masih lestari hingga hari ini. Riyaya Undhuh-Undhuh adalah bukti spiritualitas Kristen yang berpadu dengan nuansa Jawa yang sangat kental. 

Menurut maknanya, Undhuh-Undhuh berasal dari kata unduh atau ngunduh, yang artinya memetik. Sedangkan Riyaya adalah hari raya. Jadi makna hari raya Unduh-Unduh berarti Hari Raya Panen, dimana warga Kristen Jawa melakukan semacam perayaan untuk mengekspresikan rasa syukur atas berkat yang diterima. 

Laku Undhuh-Undhuh dipercaya dimulai di Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno Jombang sejak 1930. 

Dijelaskan dalam buku Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh yang disusun oleh Tim Pencatat Sejarah GKJW Mojowarno, ketika menjalankan ritual Undhuh-Undhuh, jemaat membawakan berbagai hasil panen berupa tanaman, buah, padi, dan hewan ternak lalu diarak. Hasil panen itu tadi kemudian dipersembahkan pada Tuhan YME. 

Tradisi Unduh-Unduh sangat menarik karena di beberapa gereja seperti GKJW Mojowarno, dilakukan secara meriah. Warga gereja akan membuat berbagai boneka, patung dan bangunan raksasa dari hasil panen lalu mengaraknya bersama-sama. Mirip dengan tradisi ogoh-ogoh di Bali. 

Banyak warga dari dalam maupun luar negeri yang penasaran akhirnya juga turut menyaksikan. sejarah hari raya unduh-unduh 

Hari Raya Unduh-Unduh Kental Dengan Budaya Kejawen 

Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh
Riyaya Undhuh-Undhuh

Walaupun diadopsi oleh Gereja, memang faktanya tradisi Unduh-Unduh memang dekat dengan nuansa Kejawen, khususnya kepercayaan agraris nenek moyang pada keberadaan Dewi Sri. 

Dewi Sri, pada jaman dahulu, dipercaya memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan panen. Untuk itu masyarakat melakukan berbagai perayaan, khususnya wujud ucapan syukur atas berhasilnya panen. 

Ketika warga akhirnya memeluk Kristen, tradisi tersebut tidak serta merta dihilangkan, tetapi justru tetap dilestarikan dengan nuansa yang baru agar sesuai dengann Alkitab (kitab suci umat Kristen). Oleh karena itu pada akhirnya tradisi Riyaya Undhuh-Undhuh dilakukan dengan dilandasi ajaran-ajaran Kristen, seperti ungkapan syukur kepada Tuhan atas panen yang sudah boleh berlangsung. 

Tradisi Akulturasi Jawa-Kristen Selain Undhuh-Undhuh, ada juga satu upacara lagi yang kental dengan akulturasi Kristen dan Kejawen, yakni Kebet

Upacara Kebetan / Kebet dilangsungkan sebelum musim tanam oleh para petani. Nama Kebet sendiri berasal dari bahasa Belanda Gebed yang artinya doa. 

Upacara ini berlangsung siang hari. Sesepuh akan memukul kentongan pada pukul 13.00 agar warga bersiap membawa berbagai makanan. Makanan yang disiapkan berupa nasi, urap-urap dan lauk. Pada pukul 13.30 kentongan kembali dipukul agar warga keluar rumah dan menuju ketempat pelaksanaan Kebetan. Pada pukul 14.00 kentongan untuk ketiga kalinya dipukul pertanda acara dimulai. Acara Kebetan diisi dengan doa bersama para petani. Lalu wejangan dari para sesepuh desa mengenai maksud dari acara ini. Jika Undhuh-Undhuh dilakukan paska panen, maka Kebetan dilakukan sebelum mulai menggarap sawah 

Riyaya Undhuh-Undhuh di Jaman Modern 

Walau sudah berumur 90 tahun, tetapi masih banyak gereja, khususnya GKJW dan GKJ (Gereja Kristen Jawa) yang tetap melakukannya. Menginggat kemajuan jaman, maka Riayya Undhuh- Undhuhpun akhirnya mengalami transformasi. 

Untuk gereja dimana anggota jemaat bukan seorang petani, peladang, atau nelayan maka bisa mewujudkan ungkapan syukur melalui uang persembaan bukan lagi hasil panen. “Walau tidak lagi menggunakan hasil panen sebagai ritual dan wujud syukur, kami tetap melangsungkan Riyaya Undhuh-Undhuh dengan memberikan sebagian dari gaji”, ungkap Anastasia Retno Irianti. Retno (panggilan Anastasia) adalah warga jemaat GKJW Waru yang tinggal di Sidoarjo. Sehari-hari dirinya bekerja sebagai seorang penjahit. 

Hal yang sama juga diungkapkan Hadi Purboyo, suami Retno. “Dulu saya seorang peternak bebek. Saya mempersembahkan telur asin dalam bazaar yang dilakukan di gereja. Namun Riyaya Undhuh- Undhuh terakhir, saya memberi persembahan dalam bentuk uang.” 

Untuk masyarakat Kristen Jawa yang tinggal di daerah perkotaan maupun urban memang tidak lagi memberikan hasil bumi sebagai wujud persembahan. Mereka menggantinya dengan uang dari hasil pendapatan sebagai pegawai, pedagang atau pengusaha dan kemudian turut terlibat dalam prosesi lelang yang dilakukan panitia di Gereja. 

“Ketika saya kecil, Undhuh-Undhuh dilakukan dengan meriah. Warga akan mempersembahkan kambing, ayam, hasil kerajinan dan hasil panen. Lalu setelah kebaktian akan diadakan lelang yang nantinya digunakan untuk kegiatan gereja.” Kenang Hadi Purboyo yang sewaktu kecil adalah jemaat GKJ di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. 

Merayakan Undhuh-Undhuh di Tengah Pandemik Corona 

Merebaknya virus Covid-19 atau Corona di tahun 2020 ini benar-benar mengubah banyak hal. Sesuai dengan anjuran pemerintah, mayoritas gereja di Indonesia meliburkan jadwal ibadah dan perayaan agama. 

Perayaan Undhuh-Undhuh juga mengalami perubahaan, yakni digelar secara daring atau online. Dengan memanfaatkan teknologi live streaming dan internet, perayaan tetap digelar dengan nuansa keterbatasan. 

Walau begitu, tetap ada sisi positif yang bisa diambil. Nugroho, salah seorang jemaat GKJW yang kini harus bekerja dan bermukin di Banjarbaru, Kalimantan mengungkapkan perasaannya. “Walaupun digelar dengan penuh keterbatasan karena mengikuti anjuran pemerintah, namun dengan adanya live streaming justru memudahkan kami yang berada di luar pulau Jawa untuk mengikuti ibadah.”

Semangat Melestarikan Spiritualitas Kristen Jawa 

Tentu saja kita semua berharap ritual yang penuh dengan nilai positif sekaligus nilai budaya yang tinggi ini tetap bisa bertahan melampaui jaman. Keberadaan anak-anak muda yang turut serta dalam perayaan Undhuh-Undhuh bisa jadi harapan baru agar tradisi akulturasi Jawa dan Kristen ini bisa terus hidup. Bukan tidak mungkin jika dikemas dengan baik, tradisi Undhuh-Undhuh juga berpotensi menjadi momen penarik wisatawan baik dalam dan luar negeri.

Baca juga artikel menarik lainnya : 

Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "Hari Raya Unduh-Unduh Sebagai Akulturasi Kristen-Jawa"