Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Resensi dan Pembahasan Buku Madiun 1948

Terkadang kita harus berterima kasih pada para penulis dan peneliti asing, karena ternyata dari merekalah, kita bisa melihat diri kita lebih baik lagi. Dan salah satu peneliti itu adalah Harry A. Poeze, sang penulis buku Madiun 1948 PKI Bergerak.

Buku tebal yang bisa dijadikan senjata untuk memukul maling ini isinya daging semua. Meski terdiri dari ratusan halaman, tetapi pembahasannya benar-benar memukau dan penting untuk dibaca, khususnya Anda yang tertarik dengan topik pemberontakan PKI pada peristiwa Madiun Affair di tahun 1948.

Memang topik yang diangkat bisa terbilang berat lagi sensitif. Dalam pembahasannya, Poeze terlihat sekali memainkan peran sebagai penulis yang netral dan obyektif, sehingga isu sensitif seperti ini bisa dinikmati dengan tanpa berat sebelah. 

Untuk yang selama ini hanya melihat peristiwa Madiun dari satu perspektif saja, maka pasti akan tercengang mengetahui banyak fakta baru, diantaranya: 

  • Peristiwa penculikan komandan penting Pasukan Senopati yang diduga dilakukan oleh Pasukan Siliwangi.
  • Perang saudara antara tentara yang mendukung PKI/FDR dan tentara yang berada di bawah komando Jenderal A.H Nasution.
  • Pertikaian antara sesama kaum komunis, yakni komunis kubu Amir-Moeso dan komunis GRR pimpinan Tan Malaka.

Semua fakta itu diungkap secara obyektif oleh Poeze melalui salah satu karya terbaiknya ini, yang mungkin belum banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia yang memang tidak terlalu suka mempelajari sejarahnya sendiri. 

Isi Buku Madiun 1948 PKI Bergerak

Buku Madiun Bergerak oleh Harry A. Poeze
Buku Madiun Bergerak oleh Harry A. Poeze

Buku ini terdiri dari dua bab pokok dimana masing-masing bab memiliki sub pembahasan yang lebih detail dan spesifik.

Dalam bab I berjudul Jalan ke Konfrontasi, Poeze mengudar peristiwa-peristiwa secara menarik dan komprehensif. 

Bab ini terdiri dari serentetan pembahasan tentang kedatangan Moeso, seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia di masa revolusi fisik. Ia pulang kampung setelah kurang lebih 20 tahun berada di Eropa, khususnya Uni Soviet.

Bab ini diakhiri dengan perhitungan dan analisa jumlah korban yang jatuh dari berbagai pihak, baik itu PKI dan FDR, TNI Pro Hatta, hingga rakyat sipil. 

Secara ringkas, bab I ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub pembahasan, antara lain: 

Kondisi PKI sekitar 1945-1948 dan Jatuhnya Pemerintahan Amir Sjarifudin

Seperti kita ketahui, PKI adalah salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia, disamping Sarekat Islam dan PNI. Ketiganya begitu disegani dan mendapat dukungan luas rakyat, khususnya pada era menjelang kemerdekaan.

Namun PKI gagal total melanjutkan hidupnya paska gagalnya pemberontakan 1926. Akhirnya para pimpinan partai ini menjalankan roda organisasi secara ilegal atau bawah tanah. 

Partai yang sangat kuat dan mendapat dukungan luas rakyat ini, seperti hidup segan mati tak mau. Moeso, Alimin, Tan Malaka dan lainnya hengkang dari Indonesia, sementara pimpinan lainnya dibuang ke Digul, Irian.

Lalu di tahun 1948, PKI juga masih terseok-seok, sementara partai-partai lainnya seperti PNI, Masyumi maupun kelompok sosialis yang tergabung dalam Partai Sosialis pimpinan Sjahrir dan kelompok-kelompok Tan Malaka mulai mengorganisir kekuatan jauh lebih rapi.

PKI di masa itu tidak masuk pemerintahan. Bahkan bisa dikatakan tidak ada satu pimpinan tunggal yang memimpinnya. Ada PKI Sibar, PKI Ilegal, PKI Muda, PKI Sardjono-Tan Ling Djie, dan lainnya. 

Sementara itu kaum komunis, baik Marxis-Leninis maupun komunis-nasionalis berhimpun dalam banyak organisasi, seperti SOBSI, Partai Buruh Indonesia, Pesindo, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Komunis Muda (Akoma) dan Partai Rakyat Sosialis.

Meski demikian, sebenarnya ada keuntungan tersendiri di balik itu semua. 

Kaum komunis menyebar merata. Bahkan dalam buku tersebut, Poeze mengutarakan bahwa ada kaum komunis yang berhasil masuk ke TNI, salah satunya adalah TNI-Masyarakat yang cukup kuat posisinya. 

Peristiwa lain yang juga tak lepas dari pantauan Poeze adalah jatuhnya Kabinet Amir Sjarifudin.

Pimpinan Partai Sosialis Indonesia PARSI itu adalah Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan yang cukup populer di kalangan rakyat. 

Namun kabinetnya jatuh dan mendapat serangan politik dari Masyumi-PNI karena dianggap gagal sehingga lahirlah Perundingan Renville yang merugikan Indonesia.

Kedatangan Moeso dari Moskow

Sebenarnya puncak dari awal buku ini ada pada kisah yang menceritakan kedatangan Moeso yang menyamar sebagai asisten Soeripno, duta besar keliling Indonesia.

Moeso sendiri menyamar sebagai Soeparto dan mendampingi petualangan Soeripno, mulai dari Eropa Timur, Mesir, Minangkabau, hingga Yogyakarta.

Ada banyak hal yang membingungkan yang juga belum terjawab dalam buku ini, yakni siapa yang menyuruh Moeso ke Indonesia dan memimpin PKI?

Beberapa hipotesa yang ditawarkan antara lain: 

  • Stalin, entah melalui CPUS atau Komintern, memerintahkan Moeso untuk memimpin PKI dan kemudian merebut kekuasaan.
  • Moeso merasa dirinya dipilih dan ditugaskan oleh Moskow untuk memimpin revolusi di Indonesia.
  • Moeso sadar tidak ada yang menyuruhnya pulang, namun tetap kembali ke Indonesia dan memimpin PKI atas inisiatifnya berdasarkan obsesinya sendiri. 

Tentu butuh penelitian lebih lanjut, karena hal ini cukup penting. Setidaknya kita bisa melihat sejauh apa peran Stalin sebagai pemimpin Uni Soviet dalam memandang Indonesia, sebuah negara dengan partai komunis terbesar ketiga di dunia

Konsep Jalan Baru dan Fusi FDR

Moeso ini unik. Hanya kurang dari tiga bulan ia datang ke Indonesia, negeri ini sudah hancur lebur tenggelam dalam perang saudara yang penuh darah. 

Jika diurutkan menurut garis waktunya, maka akan terlihat bagaimana sepak terjang Moeso yang sebenarnya belum terlalu lama menginjakan kaki di Indonesia hingga kemudian pecah Madiun Affair.

Pada pertengahan Agusutus 1948, mungkin tanggal 12-14, Moeso tiba di tanah air bersama Soeripno. Mereka lalu bertemu dengan Bung Karno. 

Pada tanggal 13-14 Agustus di tahun yang sama, Moeso memimpin sidang Politbiro PKI. Jalan Baru, sebuah konsep dari Moeso diterima sebagai haluan partai.

Sepanjang 14-30 Agustus, Moeso sibuk memperbaharui Front Demokrasi Rakyat, dimana dalam organisasi ini duduk partai-partai kiri dan organisasi paramiliter yang kuat, seperti SOBSI, Pesindo, PKI, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis. Fusi dijalankan demi membentuk sebuah partai komunis tunggal yang kuat.

Awal September 1948, Moeso dan kaum komunis terlibat perang kata-kata melalui pidato dan media. Roestam Efendi memanfaatkan massa dari GRR atau Gerakan Revolusioner Rakyat, tempat para komunis dan nasionalis kiri pengikut Tan Malaka berhimpun untuk melawan agitasi FDR. Selain itu, Moeso juga berhadapan dengan Partai Angkatan Komunis Muda yang dipimpin Ibnu Parna serta Partai Rakyat Djelata

18 September, pasukan di bawah komando Soemarsono yang didominasi anggota FDR dan Pesindo menyerbu Korps Mobridge, Siliwangi, dan Kepolisian. Inilah yang kemudian dianggap sebagai pemberontakan PKI Madiun. 

Sekitar 19-20 September, Moeso dan para pimpinan PKI, termasuk Amir, segera pulang ke Madiun. Bukannya mencegah, justru mereka seakan menjustifikasi tindakan Soemarsono. Hal ini kemudian bisa dipastikan sebagai kode bahwa pimpinan FDR setuju dengan pengambil-alihan Madiun. 

Tentu apa yang terjadi di Madiun sudah bisa ditebak akhir ceritanya. Gerakan separatis yang berusaha menumbangkan Soekarno-Hatta tersebut akhirnya lenyap disikat Siliwangi dan rakyat Pro-Pemerintah.

Kekalahan FDR

Tiga bulan setelah pertempuran sengit antara milisi dan pasukan militer pendukung PKI melawan TNI pemerintah, Madiun Affair dinyatakan tamat. 

Dua hal yang menandai akhir peristiwa pemberontakan Madiun adalah kematian Moeso atau yang juga biasa ditulis Musso di Ponorogo serta penangkapan Djoko Sujono, Maruto Darusman, Amir Sjarifudin dan pentolan PKI lainnya. 

Adu Argumen Seputar Madiun 1948

Pada bab II diceritakan tentang Aidit dan PKI di era Demokrasi Terpimpin yang mencoba menulis ulang sejarah pemberontakan Madiun 1948.

Dalam berbagai kesempatan, termasuk pleodinya ketika di persidangan, Aidit terus memuji Musso dan kawan-kawan PKI Madiun sebagai pahlawan sembari mencaci maki Hatta yang dianggapnya sebagai penjahat yang tangannya berlumuran darah.

Poeze menuliskan dengan gamblang perihal berbagai pendapat dari banyak tokoh, media massa dan institusi seputar kejadian Madiun. Tentu ini merupakan kerja keras yang harus dipuji. 

Keunggulan Buku Madiun 1948

Memang ada beberapa buku keren lainnya yang membahas seputar Madiun 1948, termasuk juga buku-buku yang bersumber dari hasil wawancara dengan Soemarsono yang adalah pelaku langsung peristiwa tersebut.

Beberapa keunggulan yang membuat karya Harry A. Poeze ini menarik antara lain: 

  • Kaya sumber. Poeze dengan kerja kerasnya mampu menghubungkan kepingan-kepingan peristiwa yang bersumber dari banyak hal, misalkan transkrip radio, berita di koran-koran lokal hingga internasional dan buku-buku yang relevan. Tentu ini sangat menarik dan patut mendapat apresiasi.
  • Poeze mampu menempatkan diri sebagai seorang penulis yang netral dan tidak memihak. Ia dengan seimbang menyertakan kutipan asli dan tendensi dari masing-masing pihak, misal dari koran Sin Po yang tidak terlalu suka dengan kaum komunis, maupun corong-corong PKI seperti Radio Gelora Pemuda ataupun koran Buruh
  • Lembar demi lembar dalam buku ini dipenuhi catatan kaki. Meski tentu saja 'merusak' estetika, tetapi ini sangat diperlukan untuk menunjukkan kredibilitas sang penulis sebagai seorang peneliti yang mengedepankan metode ilmiah

Meski demikian, tidak ada gading yang tak retak. Menuru saya, buku hebat ini juga memiliki beberapa hal yang perlu ditinjau.

Pertama, mengenai penyusunan timeline. Memang tidak mudah menyusun sebuah peristiwa yang di dalamnya juga terkait banyak peristiwa lainnya. Tapi jika tidak hati-hati dalam membaca buku ini, kita akan melupakan mana kejadian yang mendahului kejadian lainnya. Meski tertera tanggal dan bulan di sana.

Kedua, dalam beberapa kesempatan, tulisan yang merupakan kutikan (mengandung kata ganti orang pertama) tidak dijelaskan siapa yang mengatakannya. Tentu ini perlu untuk mendapat perhatian lebih lanjut.

Meski demikian, secara jujur dan tulus, saya merekomendasikan buku ini sebagai bahan bacaan yang isinya daging semua dan cocok untuk Anda pecinta sejarah. Kesimpulan, buku ini adalah ★★★★ atau Must Read!

Kemarin dulu, sempat lihat ada buku karya Poeze yang lain di Big Bad Wolf Surabaya, tapi urung beli dan sekarang menyesal banget. 

Itulah resensi dan sinopsis buku Madiun 1948 PKI Bergerak. Baca juga resensi buku lainnya, semisal Things Fall Apart, sebuah novel dari Afrika yang menyentuh hati. 

Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "Resensi dan Pembahasan Buku Madiun 1948"