Pak Guru Juki
Dina menangis tersedu-sedu. Bekas tamparan di wajahnya masih hangat memerah. Sedang seragam sekolahnya basah kuyup oleh siraman air comberan tiga temannya. Mata bundar gadis itu tak henti-hentinya menghujani lantai kamar mandi sekolah dengan air mata. Ritual penyiksaan tersebut diakhiri dengan mengikat rambut Dina di salah satu pipa yang tertanam di tembok.
Setelah puas menyiksa Dina, tiga anak nakal itu keluar. Mereka adalah Diki, Jodi dan Hendri. Diki berperan sebagai sang pemimpin. Sosoknya yang tinggi dan culas telah membuatnya memenuhi semua persyaratan mutlak untuk menjadi calon penjahat kelas kakap. Walau masih SMP, bocah yang sudah empat kali tinggal kelas itu sudah akrab dengan rokok, alkohol dan seks bebas.
Menjelang sore, Karto membebaskan Dina dari kamar mandi. Karena kesulitan melepas ikatan rambut Dina, ia terpaksa mengguntingnya beberapa helai. Begitu bebas, Dina langsung memeluk Karto, sedang air matanya sudah tak mampu lagi tumpah.
Esoknya di ruang Pak Juki, Karto menghadap. Ia ditemani Dina dan Lusi. Mereka kemudian mengadukan semua perbuatan Diki selama ini, termasuk kekerasan yang ia lakukan kepada Dina. Pak Juki lalu merenung. Langit wajahnya menjadi mendung, membawa rentetan peristiwa masa lalu yang kemudian berjejal memenuhi ingatannya.
Sekitar empat puluh tahun yang lalu, ketika masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR), Pak Juki dan selusin saudaranya hidup miskin. Hanya dia dan Mas Prapto, abang tertuanya yang bersekolah. Mas Prapto orangnya culas, kasar dan bengal. Walau begitu sebenarnya ia cerdas dan bercita-cita luhur, menjadi dokter. Sayang karena kurang mendapat perhatian orang tua, Mas Prapto tumbuh menjadi anak liar.
Suatu hari Mas Prapto di keluarkan dari sekolah, karena terlibat perkelahian dengan anak seorang asisten wedana setempat. Ia juga dituduh mencuri sepeda salah seorang guru dan berbuat cabul kepada seorang siswi keturuan Tionghoa. Perasaan Mas Prapto hancur. Bocah itu larut dalam keputus-asaan. Ia lari dari rumah.
Selepas itu badai kehidupan menyeretnya dalam dunia para bandit. Ia menjadi begal terkenal. Tetapi umurnya pendek. Di usia tiga puluhan, ia tewas diterjang timah panas tentara, sewaktu berusaha membajak truk pengangkut sawit. Pada saat penguburannya, Pak Juki ingat betul, bagaimana guratan di wajah abangnya yang sendu. Matanya yang membelalak, seolah menyalahkan takdir, yang membuatnya menjadi kriminal, bukan dokter.
Sejak saat itu, Pak Juki berubah haluan. Ia keluar dari sekolah pelaut dan mendaftar jadi guru. Ia diterima. Dengan penuh ketelatenan, ia mengajar murid-muridnya dan membuat mereka menyadari pentingnya merajut masa depan sedari muda. Banyak anak nakal yang kemudian takluk oleh kesabaran beliau. Namanya begitu terkenal. Pak guru Juki kemudian diangkat menjadi kepala sekolah hingga hari ini.
Sebenarnya, di umurnya yang sudah terhitung senja, ia tinggal menunggu surat pensiun dari negara. Nyatanya, di ujung masa pengabdiannya, ia harus bertemu Diki. Bocah jahil yang kenakalannya sudah sangat terkenal di seluruh pelosok desa. Orang tuanya jarang di rumah, sedang Diki lebih suka kelayapan, tinggal bersama orang-orang bengal dan para penjudi. Tidak hanya mengenal rokok, ia juga sudah tahu betul apa itu alkohol dan zina. Bahkan ada kabar burung yang mengatakan ia juga seorang morpinis.
Lamunan pak Juki meredup oleh suara tangis Lusi. Gadis manis yatim piatu berambut hitam itu menceritakan dengan saksama bagaimana tubuhnya menjadi sasaran kejahilan Diki dan teman-temannya. Pak Juki hanya menggeleng. Sedang Karto meluap bara amarahnya. Gemercap geligi yang saling menggigit menandakan bahwa ia siap melakukan sesuatu.
Keyakinan Karto bahwa ia harus bertindak semakin besar, demi mendengar Pak Juki, sang Kepala Sekolah pujaan hanya mampu mengucapkan kata-kata mengambang.
“Masalah itu, biar sekolah yang urus. Nanti sore bapak akan menasihati Diki agar berubah”, ucap Pak Juki.
Karto berang dalam hati. Ubun-ubunya serasa menguap karna kecewa. Begitu bel sekolah berbunyi, ia lari, melesat kerumah. Ibunya belum pulang dari pabrik, ayahnya sedang memancing di teluk. Kesempatan bagus, pikirnya. Ia lalu pergi ke sebuah lemari jati di kamar ayahnya. Dengan hati-hati ia ambil sebuah bedil rakitan, dan ia masukkan tiga butir kelereng baja, yang biasa digunakan berburu babi hutan.
Ia melihat jam dinding, dan tersenyum. Biasanya pada jam-jam ini Diki sedang ada di ladang tebu. Ia berlari secepat kijang. Keyakinannya sudah bulat, ia akan menakut-nakuti anak itu, agar mau berubah. Jika tidak, maka ia juga sudah siap menembak matanya.
Langkah Karto terhenti. Tepat dihadapannya berdiri Diki, buruan dari kemarahannya. Hamparan tanah sejauh dua lemparan batu memisahkan mereka. Karto memaki sekuat tenaga.
“Hei, anak setan, ayo kita adu kuat”.
“Oh, juara kelas ingin jadi juara gulat ternyata”.
“Tidak usah banyak cakap, kemari kalau nyalimu sebesar bukit”.
Diki terpancing amarahnya. Ia mendekat ke arah Karto. Bukannya tidak melihat bedil di punggung Karto, tetapi baginya mundur adalah sebuah tindakan memalukan. Dengan parang melekat di tangan kirinya, ia berjalan ke arah Karto.
Ketika jarak hanya sejauh lemparan batu, Karto segera menyiapkan bedilnya. Ia arahkan moncong senapan itu ke arah paha buruannya itu. Diki langsung terkejut. Ia tidak mengira bocah itu begitu berani. Sadar bahwa musuhnya adalah Karto bin Basman, anak seorang pemburu paling terkenal di desanya yang sudah siap menarik pelatuk, ia langsung memucat mayat. Keringat keluar di sekujur tubuhnya, dan kakinya bergetar bagai layar yang dipermainkan angin.
Karto menembak yakin. Peluru menembus paha kanan Diki, merobohkannya ke tanah. Ia meringis meminta ampun. Tetapi sudah terlambat. Amarah sudah menguasai jiwa Karto. Ia bukan lagi seorang pelajar kalem yang jadi langganan juara cerdas cermat. Kini ia laksana pemburu yang sudah tak sabar menghabisi buruannya. Kali ini ia membidik mata kiri Diki, tidak peduli apa yang terjadi esok, bangsat kecil ini harus mati sekarang juga. Diki semakin nyaring meminta ampun.
Ternyata permohonan ampun Diki tidak berguna. Karto semakin kesetanan. Untuk kedua kalinya, Karto menarik pelatuk, memuntahkan peluru kelereng baja. Dorrr….
Burung gereja beterbangan, ketika sebuah mobil mewah melintas. Di depan pintu gerbang pemakaman umum, mobil itu berhenti. Pintu terbuka, dan seorang pria berbaju necis keluar dari mobil itu. Dialah Diki, seorang guru yang dikenal sebagai penakluk anak-anak nakal. Sudah sederetan penghargaan diberikan kepadanya karena dedikasinya.
Ia melangkah ke sebuah pusara. Di depan pusara itu, terpatri nama seseorang yang menyelamatkan hidupnya, Juki bin Dalsim, kepala sekolahnya sewaktu SD. Beliaulah yang menerjang tubuhnya, sehingga peluru kelereng baja itu tidak menyentuh dirinya, melainkan menembus kepala beliau.
Sejak saat itu, Diki menyadari segala keculasannya. Ia dengan penuh penyesalan mengangkat mayat Pak Juki, dan dihadapan jenasah beliau, berjanji untuk melanjutkan pengabdiannya. Selamat jalan Pak Juki, sang guru sejati.
Kisah Pak Guru Juki adalah sebuah cerpen edukasi yang berisikan cerita pengorbanan seorang guru bernama Juki demi bisa mengubah siswanya. Apakah yang dilakukan Pak Juki sudah tepat? Tulis pendapat Anda di kolom komentar.
Baca juga cerita pendek menarik lainnya, seperti:
1. Suatu sore di Dennis Kitchen.
tragis sekali gan cerita nya... penuturan cerita nya cukup bagus...tapi alur yang melompat ke backgroun pak juki, sedikit membingungkan,
BalasHapusbagus gan. ..
Iya gan, saya emang hobi melompat macam Kangoroo. Hehehe.... biar ada hit gitu maksudnya. Makasi sudah mampir. Nantikan #cerpencatatanadi berikutnya.
HapusDi cerita itu ada kata2 morpinis itu apa ya artinya?
BalasHapusMorpinis itu pengguna morpin gan
HapusDiksinya sederhana, tapi konflik yang disajikan dan gaya bertuturnya bagus banget. Membuat pembaca malas berhenti sebelum cerita itu selesai. Dan lagi alurnya tersaji dengan rapi dan mengejutkan, meakipun di awal bisa diduga akan ada hal seperti itu. Tapi, tetap mengejutkan.
BalasHapusThanks ya, terima kasih sudah mampir
Hapussumpah keren banget cerpennya min... Penggambaran Imajinasi di masa lalu nya dapet bangettt 👍
BalasHapusTeeima kasih. Baca cerpen Catatan Adi lainnya ya.
HapusGuru ku Pahlawan ku, Pak Juki adalah seorang guru yang rela mengorbankan dirinya untuk muridnya.
BalasHapusSangat inspiratif, walupun akhir cerita yang tragis.
Makasih informasinya 👌
Thanks gan. Jasa para guru memang besar.
HapusKeren konfliknya, pilihan kata mudah dipahami tapi tidak mengesampingkan nilai estetis cerpen ini. Saya sangat menikmati alur ceritanya. Namun di bagian akhir saat Karto menembak kepala Diki kan kena pak Juki dan dia meninggal ya, itu menurut saya agak aneh soalnya tiba2 Pak Juki tiba2 muncul. Mungkin bisa ditambahkan kalau Karto atau Juki seperti ada yang mengikuti agar kedatangan Pak Juki tidak terkesan tiba2. Lalu di bagian Karto, saya penasaran bagaimana nasib tokoh yang satu ini. Overall, sangat menarik ceritanya. Coba saja kalau dibuat novel ringan bagus ini. Kisah mulai kecil hingga dewasa.
BalasHapusThanks attensi dan support-nya gan.... Saya gunakan untuk bisa lebih baik lagi.
HapusSama-sama ^^
HapusWahhh hebat banget yang punya blog ini coba kunjungi jugha blog saya
BalasHapusHyrpl.blogspot.com
Oke gan siyaap.
Hapusgegara komik si juki, awalnya saya kira nama juki disini dari komik tersebut.
BalasHapusOke bos, meluncur. Baca juga cerpen2 lainnya ya
BalasHapusHebat gan bikin seperti ini sangat lh sulit, lanjutkan
BalasHapusYoa gan. Ada cerpen lainnya loh. Silahkan dibaca ya.
HapusDina apa kabar ?
BalasHapusMungkin nanti ada sekuelnya gan, Dina jadi korban anak buah Diki? Seru ga?
HapusNggak tahu benar atau nggaknya. No comment about it. Tapi, sangat disayangkan saja. Karto yang anak pintar harus bermasalah karena kasus bedil-membedil. Sekali pun mangsanya adalah anak nakal.
BalasHapusTapi kalau nggak dibedil pan parangnya yang terbang ke dia. Serem amat jadinya.
Saya suka sekali dengan cerita yang endingnya tidak terjebak dan gak tanggung.
BalasHapusUntuk sebuah edukasi, cerpen ini layak direkomendasikan buat pelajar SMP/SMU.
Selamat ya, sudah berhasil membuat jantung berdegub sepanjang cerita
Pemilihan diksi katanya bagus, ceritanya mengalir. Temanya dark banget ya, saya yg baca ikut jadi sedih sama kelam hatinya haha. Endingnya plot twist juga bagus dan ga terduga hihi
BalasHapusWaduh endingnya ...
BalasHapusJadi bagaimana itu nasib Dina dan Karto?
Mereka tokoh utama juga selain Guru Juki dan Guru Dini, bukan?
Endingnya sungguh tak terduga. pak guru Juki bukan menasehati Diki dengan mengajaknya berbicara, tapi memberikan "pukulan telak" dengan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan nyawa Diki. Tapi dari situ justru jadi titik balik bagi Diki untuk berubah
BalasHapusAku bacanya ikut gemeeeessss, ternyata ada plot twist di akhir yang sangat mengharukan. Untung Diki meneysal dan berubah. Jadi penasaran bagaimana nasib Karto, ya?
BalasHapusSungguh plot twist yang gak ketebak. Alhamdulillah perjuangan guru Juki gak sia-sia yaa, Diki akhirnya sadar
BalasHapusMembaca atau nonton cerita/drama tentang perundungan saya selalu merinding. Terkadang menggigil jika perundungan tersebut sudah pada tahap memprihatinkan dengan polah seperti mafia. Mas Adi hebat, bisa menghadirkan kengerian itu lewat susunan kalimat yang membawa emosi.
BalasHapussedih banget bacanya
BalasHapuskarena bukan sekadar fiksi tapi sering terjadi di kehidupan nyata
aksi perundungan sejak kecil, tindakan kriminal dst
ternyata gak tiba-tiba muncul
Persiapan Karto sesuatu banget ya sampai akhirnya ketemu Diki.
BalasHapusDari sebuah cerita bisa dapat banyak hikmah yang dapat diambil pesan moralnya
Keren kak, endingnya plot twist banget, cerita yang sederhana Kisah anak sekolah biasa tapi jadi keren banget...
BalasHapusJalan cerita yang bagus , kendalikan emosi agar semua bisa terkontrol
BalasHapusSambil baca sambil mengepalkan tangan.
BalasHapusRasanya penuh ketegangan terutama saat Pak Juki dan Diki bertemu. Rasanya adu kekuatan antara guru dan murid ini menjadi salah satu jalan untuk mendidik seorang murid yang sok jago seperti Diki.
Langsung auto kendalikan emosi nih baca cerpennya, suka emosi memang bawaannya kalau ketemu sama murid seperti Diki.
BalasHapus