Dua Sahabat
Dua orang sahabat, saling berbagi rasa di setiap kaki melangkah. Jaka anak miskin, bapaknya petani tebu ibunya buruh cuci. Tiap hari badannya selalu letih. Waktunya terbagi, antara sekolah atau membantu mencuci. Seorang lagi Wahab, putera anggota dewan kota, wajahnya tampan rupawan tubuhnya kekar dan gagah. Rumahnya besar mobilnya mewah.
Meski beda dunia tetapi hati mereka telah terikat. Apa yang dimiliki Wahab akan dibagi pada Jaka. Apa yang dibutuhkan Wahab, Jaka akan berusaha melakukannya.
Bel sekolah berbunyi, saat itu 1998, tanah air sedang diguncang prahara. Borok pemerintah mulai terkuak dan rakyat muak. Presiden diturunkan tapi harga barang tak kunjung turun.
Guncangan besar yang melanda ibukota sampai juga di desa-desa, termasuk di kota kecil tempat Wahab dan Jaka berada. Orang miskin tetap miskin, yang kaya terancam jadi kere.
Beberapa orang mulai hilang akal. Ada yang menjual istrinya, ada yang pergi ke paranormal, pertanda masyarakat belum lepas dari hantu-hantu masa lalu.
Tak terkecuali Pak Syarif, bapak Wahab. Posisinya mulai terancam. Ia yang selama ini berangkat ke kantor untuk tidur siang ataupun menggoda pegawai-pegawai perempuan akhirnya belangsatan. Orang-orang membicarakan kinerjanya yang selama puluhan tahun nol besar.
Tentu Pak Syarif sadar dirinya adalah sampah, tetapi sampah yang beruntung. Dari nenek moyang, tidak ada garis kere. Bapaknya mantan Residen. Mbahnya kapten kompeni. Nenek buyutnya bahkan katanya keturunan selir raja. Tidak ada sejarah harus kerja supaya bisa makan.
Pak Syarif tidak mau membengkokkan sejarah. Ia tetap mau hidup enak. Haram harus kerja kalau cuma untuk makan. Kalau masih bisa menindas petani dan merampas uang pedagang, kenapa susah-susah kerja. Itulah nilai hidup yang selalul ia pegang.
Puspa, anak tertuanya tahu betul prinsip itu. Ia menikah dengan diplomat asing dan meneruskan garis keluarga yang hidup tanpa beban. Tetap bermewah-mewah dari hasil kerja suaminya yang punya pabrik kayu ilegal, mencuri kayu dari pertiwi untuk dijual lagi dengan harga tinggi.
Fuad, adik Puspa lebih gila lagi. Ia mampu menembus lingkaran ibukota, berada di antara orang-orang besar yang kerap muncul di tivi. Dengan dandanan necis dan dagu terangkat tinggi. Tapi kini ia juga kena badai krisis. Kabarnya perilaku korupnya terbongkar dan tinggal menunggu hari sampai dia disidang.
Pak Syarif hanya mengkhawatirkan anaknya yang ketiga, Wahab yang terlampau lembut, satu-satunya garis keturunan yang susah diajari nilai keluarga.
![]() |
cerpen dua sahabat |
"Bu, tolong si Wahab itu diajari yang bener. Masak kemarin nyuri uang buat membantu temannya beli seragam. Kalau nyuri itu yang besar sekalian. Dan harus dibuat untuk kepentingan keluarga."
"Ia, Ibu juga bingung Pak. Wahab berbeda dari Puspa atau Fuad. Padahal waktu lahir, angin ribut dan badai topan melanda. Serigala juga tidak henti melolong, pertanda akan lahir orang yang bukan sembarangan."
"Bapak ga mau tahu. Pokoknya Wahab harus jadi pengganti bapak. Caranya, besok dia harus lulus seleksi beasiswa ke Jepang."
"Pak, Wahab itu goblok. Mana mungkin ia lulus?"
Dan memang nampaknya satu-satunya hal yang ia warisi dari orang tuanya adalah prestasi akademiknya yang sangat rendah. Sudah SMA dia masih belum paham apa itu akar kuadrat. Satu-satunya alasan ia naik kelas karena bapaknya nyogok.
"Bapakku memaksaku ikut seleksi beasiswa ke Jepang."
"Hebat, itukan beasiswa untuk calon pemimpin bangsa. Nanti kau pasti lulus dan jadi salah satu pemimpin negeri ini. Katanya minimal mentri."
"Mana mungkin. Kau tahu sendiri, rapotku sebenarnya merah semua. Penjumlahan saja aku tidak khatam, apalagi lulus seleksi."
Muka Wahab sedih. Ada selembar tipis air di bola matanya. Aura kesedihan itu tertangkap oleh sahabatnya, Si Jaka, orang miskin yang otaknya encer.
Malam hari, wajah tampan Wahab benar-benar menghantui dirinya. Ia tak mungkin membiarkan sahabatnya bersedih selalu. Bulan disaput awan mendung, pertanda malam itu mungkin hujan. Jaka pergi ke belakang, melihat orang tuanya yang tidur di lantai beralaskan tikar.
Ayahnya meminta Jaka tidur di satu-satunya dipan yang mereka punya. Katanya agar dirinya sehat dan bisa terus masuk sekolah. Biar orang tuanya menderita asal anaknya sukses.
Besok pagi Jaka menonton tivi di tetangga. Katanya pemerintah akan memberikan beasiswa khusus anak cerdas harapan bangsa, agar negeri yang sedang terpuruk ini bisa bangkit.
"Ini beasiswa yang dimaksud Wahab."
Dua minggu kemudian, di balai kotapraja, Jaka duduk di kursi yang disediakan khusus untuknya. Ada pensil, rautan dan penghapus. Ia sedang ikut seleksi. Di rumah bapaknya berdoa tiada henti, sedang ibunya sudah 5 hari berpuasa. Memohon kepada penguasa langit agar Jaka diijinkan ke Jepang untuk dididik dengan baik.
Mereka berdua berjanji, Jaka akan berbakti pada nusa dan bangsa dan bukan jadi penguasa korup.
Belum tiga jam, Jaka sudah menguap. Semua soal sudah dilahapnya. Hidup memang adil. Anak kere tapi otak encer. Dalam hati ia berkata tak mungkin tidak lulus. Minimal akan berada di tiga besar teratas.
Tiga tahun berlalu. Jaka sedang mengasah celuritnya. Semenjak ayahnya wafat, ia meneruskan tugas jadi buruh tani, melupakan cita-cita menjadi sosok pemimpin negeri ini. Apakah dugaan Jaka meleset? Apakah doa orang tuanya gagal membuat penguasa langit iba?
Tentu saja Jaka berhasil. Ia meraih posisi tertinggi kedua. Namun ia berjuang bukan atas namanya sendiri.
Celurit sudah tajam, waktunya mencari rumput untuk pakan sapi. Panas terik membuat kulitnya rusak. Wajahnya juga lebih tua dari umurnya. Tidak ada gadis yang mau meliriknya. Dan entah kenapa semua lamaran kerja ke perusahaan tidak ada yang tembus.
Di Tokyo, seorang pemuda gagah sedang menikmati secangkir anggur ditemani beberapa wanita yang teler tanpa sehelai baju satupun. Dialah Wahab.
Entah kenapa dia teringat Jaka. Tanpa sahabatnya itu, mana mungkin ia lolos seleksi. Bapaknya rutin mengiriminya uang dan surat. Sesekali dalam suratnya ia mengabarkan tentang Jaka yang terus hidup miskin. Bapaknya berjanji, Jaka tidak akan keluar desa hingga jadi mayat. Agar kebenaran tidak terungkap.
Wahab tersenyum. Ia juga teringat pujian bapaknya.
"Ternyata kau jauh lebih sadis dari bapak. Kau memang hebat, Wahab. Kau seperti ular, yang bergerak sangat lamban sebelum menerkam. Mangsamu pun mati dalam diam."
Wahab hanya tersenyum.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa nilai moral yang dapat Anda petik dari cerita di atas? Silahkan bagikan di kolom komentar.
Baca juga cerita pendek lainnya, seperti:
Posting Komentar untuk "Dua Sahabat"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.