Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Menanti Musnahnya Bahasa-Bahasa Nusantara

SUARA-SUARA SENDU DI PENGHUJUNG SEJARAH

Namanya Partiyah. Sehari-hari beliau bekerja sebagai guru honorer di salah satu sekolah swasta di Kota Magelang.

Walau rambutnya telah memutih, tapi sorot matanya tetap tajam dan suaranya masih lantang bersemangat. Hari itu dia mengajarkan anak didiknya menyanyi tembang Jawa.

Dengan penggaris kayu panjang yang sudah retak di salah satu ujungnya, beliau menyanyikan sebuah tembang Jawa. Selesai tiap bait ia menyanyi, anak-anak didiknya pun mengikuti. Terkadang ia harus memukul-mukulkan penggaris kayunya ke lantai agar terdengar semacam ketukan.

Anak-anak didiknya yang berjumlah belasan itu tampak cukup bersemangat menyanyikan tembang Jawa yang diajarkan gurunya. Walau mungkin ada beberapa kata yang tidak dimengerti, mereka tetap menyanyi dengan riang.

Bahasa Jawa memang masih menjadi salah satu bahasa dengan jumlah penutur aktif asli yang cukup besar. Jumlah penutur bahasa Jawa adalah yang terbanyak nomor 15 di dunia. Bahkan menurut penulis dan budayawan Eka Budianta, bahasa Jawa memiliki jumlah penutur terbanyak nomor 13 di dunia.

Bahasa Jawa memang unik. Walaupun banyak dianggap susah dan merepotkan (karena memiliki banyak kosakata serta unggah-ungguh yang rumit), bahasa ini terbukti sebagai salah satu bahasa pribumi lokal (bukan bahasa nasional) yang dituturkan lebih dari 70 juta orang.

Gaung bahasa Jawa sendiri juga tidak hanya terdengar di pulau Jawa saja. Bahasa yang satu ini juga menggema di Malaysia, Suriname, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, bahkan negeri kepulauan terpencil macam Kaledonia Baru.
Bahasa Nusantara Terancam Punah
Bahasa Nusantara Terancam Punah

Di Ujung Sepatu Bot Globalisasi

Ketika perkembangan teknologi informasi begitu pesat, manusia kini menemukan sebuah era baru dalam memandang dunia. Planet bumi pun terasa semakin menyempit. Arus informasi yang mengalir dengan begitu mudahnya, membuat sekat-sekat budaya yang sebelumnya tampak gagah perkasa seakan menjadi lemah tak berdaya.

Hal ini juga menyebabkan suatu fenomena budaya, yaitu semakin mengglobalnya bahasa. Bahasa yang dulu merupakan identitas sebuah bangsa atau suku, kini menjelma menjadi semakin seragam.

Akibatnya, kini banyak ditemukan orang Jawa yang sudah tak mampu berbahasa Jawa, bahasa nenek moyangnya.

Sebaliknya, di sekolah-sekolah internasional yang kini menyebar bahkan di desa-desa pelosok, banyak ditemui siswa belia yang lebih fasih berbahasa Inggris, Mandarin atau bahasa negara lain, daripada bahasa ibu mereka sendiri.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan hal ini, jika bahasa hanya dianggap sebagai produk umat manusia yang niscaya pasti hilang nilai jualnya jika memang sudah dianggap tidak efisien (baca: berguna) lagi.

Tapi jika bahasa masih dianggap sebagai warisan budaya yang agung, jika bahasa masih dianggap sebagai sebuah identitas yang harus dipertahankan, maka fenomena semakin mengglobalnya bahasa akan dianggap sebagai sebuah bencana sosial dan politik. Maka hilangnya bahasa ibu akan dianggap sebagai usaha untuk memusnahkan suatu suku atau bangsa. Jika sudah begini, darah pun halal tertumpah untuk membelanya.

Hari Revolusi Bahasa!

Basha Andolon Debosh (berasal dari bahasa Bangladesh), atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Hari Revolusi Bahasa, adalah suatu peristiwa penting, tidak hanya bagi bangsa dan negara Bangladesh, tetapi lebih dari itu, bagi seluruh pengguna bahasa minor, bahasa-bahasa yang penuturnya sudah semakin sedikit.

Hari Revolusi Bahasa sendiri juga punya nama lain yang terdengar jauh lebih dramatis, yaitu Hari Martir Bahasa. Peristiwa ini terjadi pada 21 Februari pada tahun 1951 di Bangladesh, di mana beberapa orang mahasiswa gugur di tangan polisi Pakistan karena berusaha mempertahankan bahasa Benggali yang coba dihapus oleh pemerintah kolonialis Pakistan.

Sebelum merdeka pada tahun 1971, Bangladesh merupakan bagian dari Pakistan dan sering disebut sebagai Pakistan timur. Walau begitu, wilayah Bangladesh seperti dianak-tirikan oleh pemerintah Pakistan. Semua pembangunan dan roda ekonomi melulu bergerak di wilayah Pakistan Barat (negeri Pakistan kini). Hal ini membuat rasa muak orang Benggali (bangsa asli Bangladesh) menumpuk.

Puncaknya, ketika dengan bodohnya pemerintah Pakistan menetapkan bahasa Urdu sebagai bahasa resmi di Pakistan, baik barat maupun timur. Bahasa Urdu merupakan bahasa bagi mayoritas penduduk Pakistan Barat. Tapi orang-orang Pakistan Timur lebih menggunakan bahasa Benggali dalam komunikasi sehari-hari.

Walaupun sudah mendapat kritik, tetapi toh bahasa Urdu tetap disahkan sebagai bahasa nasional. Bangsa Bangladesh pun sontak meradang. Mereka merasa dilecehkan dan tidak dianggap. Bahkan parahnya lagi, mereka mulai merasa dihapus identitasnya. Gelombang perlawanan pun meletus.

Tepatnya pada 21 Februari terjadi demonstrasi besar-besaran di berbagai pelosok Bangladesh. Para demonstran yang tidak terima bahasa Benggali, bahasa ibu di Bangladesh, dimusnahkan, serentak turun ke jalan-jalan. Polisi pun bereaksi keras, sehingga terjadi bentrokan yang menewaskan beberapa demonstran.

Berita kematian beberapa martir tersebut langsung menyulut sebuah perlawanan keras yang menyebabkan ribuan orang tewas. Tapi di akhir perang, Pakistan timur, muncul sebagai sebuah negara merdeka, dengan nama republik Bangladesh. Bahasa Benggali pun aman, setidaknya hingga saat ini.

Oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tanggal 21 Februari pun ditetapkan sebagai peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Kepedulian untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang terancam punah pun mulai muncul. Walau sampai saat ini hal itu belum mampu menghentikan musnahnya beberapa bahasa lain dalam seratus tahun terakhir.

Beberapa Bahasa Sudah Musnah

Punahnya suatu bahasa terjadi apabila penutur terakhirnya wafat, sedang tidak ada satu manusia pun yang berminat untuk melanjutkan tanggung jawab demi mewarisi bahasa tersebut. Diperkirakan puluhan ribu bahasa musnah dan yang lainnya sedang menuju ke tahap tersebut.

Menurut National Geographic, ada 7000 bahasa yang masih eksis hingga hari ini. Masih menurut sumber yang sama, diperkirakan satu bahasa punah setiap empat belas hari.

Jika pengandaian itu benar, maka ada ribuan bahasa yang berada dalam ancaman kepunahan. Salah satu di antaranya adalah bahasa Bahasa Taushiro (Pinche / Pinchi), bahasa yang pernah digunakan oleh suatu masyarakat yang hidup di daerah sungai Tigre, di negara Peru. Pada tahun 2008, hanya ada satu penutur bahasa ini. Bayangkan, betapa sungguh kesepian sang penutur bahasa tersebut.

Elegi Bahasa Latin Dan Sansekerta

Dari semua bahasa yang sudah atau akan punah, bahasa Latin dan Sansekerta mungkin merupakan contoh dua bahasa yang bernasib sangat tragis dalam perjalanan sejarah umat manusia.

Bahasa Latin, walaupun masih dipergunakan sebagai objek penelitian dan diajarkan di cukup banyak akademi atau pusat pendidikan, adalah sebuah bahasa yang “mati’. Disebut demikian karena bahasa ini pada dasarnya tidak dipergunakan dalam percakapan sehari-hari.

Padahal bahasa Latin pernah menjadi sebuah lingua franca atau bahasa internasional. Pada masa keemasan imperium Romawi yang perkasa, bahasa Latin menjadi syarat utama untuk meraih kesuksesan. Bahasa ini disahkan sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah taklukan Kekaisaran Romawi. Penuturnya mulai dari Inggris sampai Mesir, dari Portugis sampai Armenia.

Bahasa Latin sendiri ditengarai berasal dari sebuah daerah bernama Latium (kini Lazio) di Italia. Dari sini, bahasa tersebut kemudian tersebar ke seluruh antero Eropa dan Timur-Tengah.

Pada masa pemerintahan Romawi, bahasa ini memiliki tata bahasa yang baku, seperti layaknya bahasa-bahasa nasional yang lain.

Tetapi begitu Kekaisaran Romawi lenyap, di berbagai daerah, bahasa ini berkembang dan mengalami berbagai asimilasi dengan budaya lain, hingga akhirnya bahasa Latin musnah. Sebagai gantinya, bahasa ini menjelma menjadi bahasa Spanyol, Perancis, Portugis dan Italia modern.

Gereja Katolik Roma juga dianggap berjasa dalam usaha melindungi bahasa Latin dari kepunahan. Bahasa Latin asli tetap diajarkan di banyak institusi pendidikan yang berakar pada ajaran Katolik. Sekolah-sekolah teologi Protestan juga masih banyak yang memasukkannya sebagai salah satu materi kuliah.

Jika wilayah Eropa memiliki bahasa Latin, maka Asia Selatan dan Tenggara punya bahasa Sansekerta.

Bahasa yang menjadi media bagi penulisan berbagai kitab agama Hindu ini dulu digunakan oleh banyak penutur, mulai dari warga Nepal pegunungan Everest hingga penduduk-penduduk Kerajaan Hindu kuno di pulau Jawa. Banyak pula prasasti dan peninggalan sejarah yang ditemukan ternyata juga ditulis menggunakan bahasa ini.

Bahasa ini erat hubungannya dengan agama Hindu, Buddha atau Jainnisme. Bahkan kitab suci Weda juga ditulis menggunakan bahasa Sansekerta.

Walau sempat menjadi bahasa yang cukup populer di Indonesia, bahasa ini harus menemui takdirnya sendiri. Hanya karena kedekatannya dengan beberapa agama besarlah yang membuat bahasa ini lolos dari jurang kepunahan.

Mempertahankan Bahasa, Mempertahankan Harga Diri

Kembali kepada sosok Partiyah, guru kelas 1 ini sehari-hari menggunakan dua bahasa, bahasa Jawa dan Indonesia. Di rumah, ia juga selalu mendorong anak, keponakan serta cucunya untuk bertutur dalam Bahasa Jawa.

Ia sangat senang ketika dirinya juga ditugaskan untuk mengampu pelajaran SSD atau Seni Suara Daerah. Pelajaran ini mulai diajarkan di kelas 3 sampai 6. Adapun fokus dari pelajaran ini adalah mengajarkan tembang-tembang Jawa.

Baginya bahasa Jawa tidak hanya melulu mengenai kosakata atau tata bahasa. Bahasa Jawa juga merupakan bagian integral dari kebudayaan dan lebih jauh lagi, identitas suku Jawa. Untuk itu pelestarian bahasa Jawa juga harus diikuti dengan pelestarian budaya Jawa, salah satunya adalah tembang.

Tembang Jawa bukan hanya memberi kesan hiburan semata. Tembang Jawa juga merupakan sarana pelestarian ingatan mengenai sejarah, asal-usul dan tata laku serta falsafah orang Jawa. Tengok saja lagu padang bulan berikut ini:

PADANG MBULAN

Yo, poro konco dolanan ning jobo
Padang mbulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelingake ojo podo turu sore

Arti

Yuk kawanku bermain di luar
Terang bulan terangnya seperti siang
Oh bulannya memanggil-manggil
Mengingatkan jangan suka tidur sore

Dari liriknya yang tampaknya menghibur seperti itu, tersirat cerminan masyarakat sejati Jawa, yang guyub, rukun, komunal dan bergotong royong. Menikmati malam bulan yang terang adalah suatu ajakan yang baik daripada harus merusak mata karena bermain game online semalam suntuk.

Kolonialisme Bangsa-Bangsa Eropa

Jauh sebelum bangsa Spanyol menjajah benua Amerika, jutaan orang Indian yang hidup di sana sudah memiliki berbagai bahasanya sendiri. Bangsa pemilik sah benua baru itu juga telah memiliki sistem budaya yang tak kalah maju dengan yang dimiliki bangsa Eropa.

Bahasa yang sudah punah
Banyak Bangsa Indian Dimusnahkan Orang Eropa

Tapi karena dasar otak kolonialis orang Spanyol, maka bangsa Indian pun dimasukkan sebagai kategori bangsa barbar yang masih hidup dalam kebodohan.

Pembantaian pun berlangsung untuk merebut tanah dan emas milik orang Indian. Seiring dengan pembantaian tak kenal ampun itu, musnah pula ratusan bahasa pribumi milik orang Indian.

Maka kini ketika membicarakan segala sesuatu mengenai benua Amerika, hanya muncul lima bahasa besar yang paling populer digunakan di sana: bahasa Inggris di Amerika Utara, Spanyol di Amerika Selatan dan Tengah, Belanda di Suriname, Portugis di Brazil dan Perancis di Quebec.

Hal yang sama juga terjadi di benua hitam Afrika. Bukan bahasa Swahili, Niger atau Etiopian yang paling populer di sana. Justru bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa kolonialis macam Inggris, Perancis dan Belanda yang populer di seantero Afrika, selain bahasa Arab.

Suka atau tidak suka, kolonialismelah yang membuat bahasa Inggris memiliki penutur asli di Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan beberapa wilayah di Afrika untuk kemudian muncul sebagai bahasa internasional. Tanpa perang dan penjajahan, belum tentu bahasa Inggris dapat ‘seterkenal’ ini.

Baca Juga :

Kisah Secangkir Kopi Untuk Si Miskin

Tiga Langkah Kecil Selamatkan Bumi

Siapakah Kaum Marhaen Itu?

Mengenal Perjuangan Ny. Soepeni

Cerpen : Pak Guru Juki dan Murid yang Binal

Bahasa Ibu, Siapa Peduli?

Keanekaragaman budaya dan bahasa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah anugerah yang sama berharganya dengan hasil bumi atau gas alam. Sayangnya bangsa ini mulai termabukkan oleh serangan dan penjajahan gaya baru yang mulai melunturkan kecintaan generasi muda terhadap budaya dan bahasa leluhurnya.

Untungnya negeri ini punya sosok macam Partiyah, yang berjuang keras agar bahasa leluhur mereka tetap menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Keinginan mulia beberapa generasi tua yang bijak serta generasi muda yang sadar sejarah, telah menjadi benteng tangguh untuk melindungi bahasa ibu dari agresi bahasa-bahasa internasional.

Sayangnya beberapa bahasa daerah di Indonesia sudah dinyatakan punah. Tentu ini merupakan sebuah pukulan telak bagi kita sebagai anak bangsa.

Bahasa daerah di Indonesia yang sudah tak memiliki penutur lagi antara lain Untuk 11 bahasa daerah di Maluku yang telah punah atau sudah tidak digunakan lagi diantaranya di daerah Kajeli/Kayeli, Palumata, Serua, dan Nila di kawasan Maluku Tengah, lalu Bahasa Piru di Kabupaten Seram Barat, Bahasa Moksela di Kepulauan Sula, Bahasa Ternateno di Kota Ternate, Bahasa Hukumina di Pulau Buru, dan Bahasa Hoti di Seram Timur.

Sedangkan dua bahasa daerah yang telah punah di daerah Papua yaitu Bahasa Tandia, yakni bahasa asli penduduk Tandia, Distrik Raisei di Kabupaten Teluk Mondama, Papua Barat. Satu lagi adalah Bahasa Mawes yang dituturkan oleh masyarakat Kampung Maweswares di Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.

Maka sebenarnya perang pun sedang terjadi, tidak di medan pertempuran, tetapi di setiap rumah. Keinginan untuk melestarikan budaya dan bahasa ibu mereka sendiri mendapat tantangan dari berbagai front. Mulai dari sinetron yang kerap mempopulerkan bahasa slang hingga hegemoni bahasa Inggris dalam berbagai buku panduan produk .

Dalam sebuah tulisan yang bernada sedikit emosional, budayawan Jaya Suprana merasa geram pada beberapa rekannya yang anak-anaknya lebih fasih berbahasa asing daripada bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah mereka.

Kegeraman budayawan berdarah Tionghoa tetapi berurat nadi Jawa itu semakin menjadi-jadi ketika menceritakan ada banyak sekolah internasional yang berdiri di tanah Indonesia tetapi tidak mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Itu tidak lain, masih menurut Jaya Suprana, karena bangsa ini telah mengidap xenofelia, yaitu histeria berlebihan dan kecintaan terhadap segala sesuatu yang berasal dari luar.

Maka sekarang, sebelum semua ini bertambah parah, harus ada keseriusan untuk lebih mensosialisasikan bahasa Minang, Madura, Osing, Bali, Minahasa, Ambon, Dayak dan lainnya sebelum bahasa-bahasa luhur warisan leluhur itu musnah ditelan sejarah.

Masyarakat harus sadar, bahwa sedang terjadi sebuah bencana identitas yang sedang dialami oleh bangsa ini.

Musnahnya sebuah bahasa berarti bencana bagi sebuah bangsa. Setidaknya mereka sudah membuang sebuah harta yang sangat berharga warisan nenek moyangnya.
Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "Menanti Musnahnya Bahasa-Bahasa Nusantara"