Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

4 Faktor Kenapa Ganjar Pranowo Kalah dalam Pilpres 2024

Pertanyaan terbesar yang mungkin ada di benak para relawan koalisi PDIP adalah, kenapa Ganjar bisa kalah telak dalam pilpres 2024?

Lebih parah lagi, bagaimana mungkin pasangan Ganjar-Mahfud bisa kalah total pada pemilu kali ini, meskipun sudah didukung oleh PDIP yang merupakan partai terbesar di parlemen.

kenapa Ganjar bisa kalah dalam pilpres?
kenapa Ganjar bisa kalah dalam pilpres?

Pertanyaan itu bisa dijawab dengan mudah ketika kita melihat apa yang sebenarnya terjadi secara keseluruhan di akar rumput. Kemenangan Prabowo Gibran mutlak karena keberhasilan Jokowi mengalihkan suara pendukung PDIP dari Ganjar ke paslon nomor 2, dimana di sana ada putranya sendiri. 

Jadi, kenapa Ganjar bisa kalah dalam pemilu? Ada 4 faktor penyebabnya, yakni kepopuleran Jokowi dikalangan masyarakat (termasuk pendukung PDIP), kegagalan tim paslon 03 dalam memahami karakteristik pemilih, kurang solidnya mesin partai dan kuatnya posisi Prabowo-Gibran.

Faktor Jokowi

Faktor Jokowi di balik kekalahan Ganjar dalam Pilpres 2024
Faktor Jokowi di balik kekalahan Ganjar dalam Pilpres 2024

Sudah banyak yang memprediksi bahwa Jokowi tidak akan bersama lagi dengan PDIP kali ini. Kenapa Jokowi tidak mendukung PDIP? Ada beberapa dugaan, salah satunya adalah keretakan hubungan antara Megawati sebagai ketua umum partai berlambang banteng tersebut dengan Presiden Jokowi.

Alhasil, rakyat yang masih mendukung Jokowi, kali ini tidak memilih PDIP ataupun Ganjar. Mereka justru berpindah mendukung paslon 02, yakni Prabowo dan Gibran yang dianggap merupakan kelanjutan dari era Pakdhe. Inilah yang membuat Ganjar yang mengandalkan suara kader dan simpatisan PDIP kalah telak, bahkan tidak merebut satupun propinsi.

Alasan faktor Jokowi yang mampu mengobrak-abrik suara PDIP juga terlihat jelas dari fakta bahwa daerah yang dianggap sebagai basis merah atau kandang banteng justru dimenangkan oleh Prabowo. Luar biasa memang fakta ini meskipun banyak pihak, khususnya dari koalisi TPN yang mencoba membantahnya. Inilah bukti bahwa Jokowi adalah king maker sekaligus pemain catur handal dalam jagat politik tanah air. 

Dalam tabulasi versi kawalpemilu.org, dua wilayah yang selama ini dianggap sebagai basis massa PDIP, yakni Bali dan Jawa Tengah ternyata justru kali ini gagal dimenangkan oleh Prabowo Gibran.

Uniknya, hasil Quick Count KPU masih menempatkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu, berada tipis di atas Golkar dan Gerindra. 

Jadi bisa dikatakan ada pendukung lama yang masih memilih PDIP tetapi tidak memilih Ganjar dalam Pilpres 2024 ini. 

Salah Strategi

penyusup sering muncul di konser kampanye Ganjar
penyusup sering muncul di konser kampanye Ganjar

Di luar dari fakta bahwa melawan orang selevel Jokowi memang sangat sulit, harus diakui paslon 03 gagal dalam menyusun strategi yang tepat.

Mereka tidak bisa lepas dari bayang-bayang pemerintah tetapi enggan untuk tunduk pada Pak Lurah. Tentu ini jauh berbeda dibanding Anis-Imin yang secara mantab menggelorakan jargon perubahan atau 02 yang konsisten di jalur berkelanjutan.

Selain itu strategi untuk menggaet artis-artis tertentu seperti NDX AKA dan Younglex ternyata tidak terlalu berpengaruh bagi masyarakat. Koalisi PDIP memang mampu memberikan hiburan tetapi gagal memberikan sesuatu yang dinanti masyarakat, yakni stabilitas.

Terlebih anak muda sekarang nampaknya lebih suka calon yang lucu daripada calon yang bersih latar belakangnya.  

TPN juga gagal dalam perang opini di sosial media. Meski demikian, memang terjadi anomali yang luar biasa dimana etika yang seharusnya menjadi sesuatu yang mulia dan dijunjung tinggi seperti diabaikan. 

Hal ini terlihat dimana banyak sekali pendukung 02 mencoba mempermalukan pihak Ganjar dengan 'menyusup' di konser-konser yang digelar TPN. Suatu kali Cak Lontong melabrak mereka tapi entah logika apa yang dipakai justru komedian senior itu yang dirujak. Semoga ini tidak mewakili gambaran mayoritas generasi muda.

PDIP, khususnya Megawati Soekarnoputri malah tetap saja mempertontonkan gaya politik yang kurang 'bersahabat', kaku dan terkesan arogan.

hasil-pemilu-1999
hasil-pemilu-1999

Mega terus menerus memposisikan dirinya, partainya dan ide-idenya sebagai sesuatu yang harus dihormati bangsa Indonesia padahal keadaan sedang tidak berpihak lagi padanya. Ini 2024, bukan lagi 1999, seperti ketika 35% rakyat membelanya.

Politik dinasti yang menjadi isu yang terus dimainkan terasa sekali mudah di-counter oleh pihak lawan tatkala memang banyak sekali tumbuh nuansa feodalisme yang kuat di tubuh partai banteng maupun partai lain pada umumnya.

Selain itu beberapa blunder yang dilakukan oleh Megawati menjadikan GAMA mudah sekali menjadi sasaran tembak para influencer lawan atau haters yang memang tidak menyukai pasangan ini, Megawati, dominasi PDIP maupun kombinasi dari semuanya. 

Masih sangat kental diingatan netizen pada HUT ke 50 PDIP yang digelar di bulan Januari 2023. Pada momen itu Mega dianggap menghina Jokowi terang-terangan.

Meskipun Puan sudah membuat video klarifikasi, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Api dalam sekam sudah dinyalakan. Para pendukung Jokowi yang ada di kandang banteng sudah tidak nyaman bersama dengan Megawati. 

Mega juga seperti tidak punya penasihat politik yang mumpunya, khususnya ketika mengeluarkan statement sensitif yang bisa digoreng lawan-lawannya, seperti ketika berkomentar tentang tukang bakso, ibu-ibu pengajian ataupun netralitas TNI/Polri/ASN dalam pemilu. 

Gaya politik Mega yang makin kurang simpatik ternyata diteruskan kembali ketika dirinya mengeluarkan perintah bahwa DPP akan mengevaluasi calon legislatif terpilih apabila di dapilnya, suaranya tidak linier dengan suara yang diperoleh GAMA. Perintah ini dikeluarkan sebelum pencoblosan dan sekarang kayu sudah jadi arang, apakah perintah ini akan tetap dilaksanakan secara suara PDIP di beberapa tempat jauh lebih besar dari pencapaian Ganjar dan Prof Mahfud MD? Kita tunggu saja.

Koalisi Rapuh, Mesin Politik Melempem

Ganjar dan Mahfud bersama Arsyad serta para ketum pendukung koalisinya
Ganjar dan Mahfud bersama Arsyad serta para ketum pendukung koalisinya

Alasan kenapa Ganjar Pranowo dan Mahfud MD kalah adalah karena tidak solidnya kader, hal ini makin terkuak tatkala banyak fakta mulai terungkap dengan sendirinya, khususnya di media sosial seperti Tiktok.

Bayangkan, di Bali, caleg-caleg PDIP berhasil melenggang ke Senayan, tapi suara pasangan GAMA kurang dari 50%, bahkan tidak menyentuh angka 45% sekalipun.

Di Tiktok, sekitar seminggu paska pencoblosan, banyak beredar pengakuan bahwa caleg lebih mengutamakan diri mereka sendiri, dengan terang-terangan meminta rakyat mencoblos mereka untuk pileg tapi membebaskan mencoblos siapapun yang disuka untuk pilpres. Fatal!

hasil-pileg-Bali-dari-Tirto
hasil-pileg-Bali-dari-Tirto

Menurut lembaga politik Charta Politika seperti yang dikutip Tirto dalam artikel Quick Count Pileg Bali 2024, PDIP masih unggul jauh di Bali dari partai-partai lainnya. Berarti partai ini punya akar yang kuat di masyarakat tapi tetap gagal melawan pesona Jokowi.

Tempo sudah pernah menurunkan artikel tentang ini berjudul Partai Koalisi Ganjar-Mahfud Tidak Solid, Mengapa? Jika dilihat dari akar kultural, PPP yang merupakan partai berbasis Islam, tetapi berada satu koalisi dengan PDIP yang nasionalis. Dua partai ini serasa berada di 2 universe berbeda.

PDIP sendiri adalah kelanjutan dari PNI, sebuah partai legendaris yang hilang pamor paska orde baru berkuasa. Akhirnya bersama dengan Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan Murba, partai ini melebur menjadi PDI lalu PDIP.  Sedang PPP adalah hasil fusi Masyumi, PSII, NU dan Perti.

Selain itu, blunder banyak terjadi di kalangan internal PDIP. Misal Ahok yang dikabarkan tidak masuk tim inti TPN karena tidak punya uang. Atau Bambang Pacul yang dalam suatu podcast menyatakan Jokowi sebagai orang baik serta jangan pernah berani melawan orang baik. 

Benarkah Ahok adalah kuda putih Jokowi?
Benarkah Ahok adalah kuda putih Jokowi?

Khusus untuk Ahok, banyak teori liar yang menganggap bahwa dirinya adalah kuda putih yang sengaja dilepas untuk membuat potensi koalisi PKS-PDIP menjadi tidak mungkin terjadi. 

Ahok punya Ahoker, yakni pendukung setia yang terbentuk cukup lama, khususnya setelah namanya moncer sebagai korban dari sentimen politik berbasis agama yang digaungkan oleh kubu 212. 

Kuda putih sendiri berarti sosok yang setia dan tulus. Dalam artikelnya, Kumparan menyebut ada narasi bahwa Ahok sengaja disusupkan Jokowi ke kubu GAMA.

Belum lagi ternyata di lapangan, banyak orang yang merupakan bagian dari PPP terang-terangan mendukung Prabowo-Gibran atau paslon 01, yakni AMIN. 

Ketakutan kader banteng bahwa jika PDIP terang-terangan melawan Jokowi akan berakibat larinya suara akar rumput terlihat jelas. Bahkan publik melihat perang terbuka hanya ada dari psywar yang justru digerakkan kader-kader baru seperti Andika Perkasa atapun Arsyad Rasyid, bukannya tokoh semacam Arthalia Dahlan, Puan Maharani, Pramono Anung ataupun Ahmad Basarah. Nama Arsyad bahkan bisa jadi bukan kader. Sedangkan Puan justru terlihat tidak segarang seharusnya. 

Ini mengejutkan. Padahal PDIP seperti sudah diinjak-injak kelompok Jokowi, misal dengan beberapa kejadian berikut:

  1. Bobby Nasution, mantu Jokowi yang juga walikota Medan menyatakan mendukung Prabowo. Sebelumnya, Gibran juga dideklarasikan menjadi wakil mantan Danjen Kopasus itu.
  2. Kaesang menjadi ketua umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Meski Kaesang sudah beda KK dari Gibran dan Jokowi yang merupakan kader PDIP, Kaesang yang jadi ketua partai lain merupakan contoh PDIP sedang diremehkan. Terlebih PSI selalu memposisikan diri sebagai partai Jokowi.
  3. Gibran membelot ke kubu Prabowo. Herannya proses pemecatan Gibran tidak langsung dilakukan DPP PDIP dengan berbagai alasan. Kuat dugaan ini untuk menjaga agar partai itu tidak terlihat berkonfrontasi langsung dengan presiden meski semua sudah menganggapnya seperti itu.
  4. Keluarnya Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait lalu gabung ke TKN Prabowo.

Di luar masalah internal, koalisi dengan Hanura, Perindo dan PPP tidak membuahkan hasil yang signifikan karena memang PDIP terlihat arogan, selain juga memang massa ketiga partai itu tidak terlalu besar. Bandingkan dengan koalisi Prabowo yang dibela banyak partai. 

Ganjar, kemudian juga Mahfud gagal jadi pengikat para petinggi dan kader anggota koalisi, seperti yang pernah sukses dilakukan Joko Widodo pada 2019 dan 2014.

Sungguh lucu melihat Red Bull tidak segarang yang dipikirkan. Namun semua itu akan berubah tatkala ternyata Mega benar-benar tidak ragu membersihkan partainya dari anasir-anasir yang indisipliner, khususnya orang yang masih di PDIP tetapi berkiblat pada Jokowi-Gibran. Inipun jika Mega benar-benar melakukannya.

Prabowo Tidak Terbendung

Prabowo sebagai Danjen Kopasus
Prabowo sebagai Danjen Kopasus

Prabowo menikmati banyak hal yang tidak dimiliki paslon lainnya. Dia punya jejaring kuat di pemerintahan, baik sekarang maupun sejak era orde baru berkat posisinya sebagai mantu Suharto sekaligus petinggi ABRI.

Dia adalah lulusan AKMIL, mantan Danjen Kopasus sekaligus pernah menjabat sebagai Pangkostrad. Dia punya anak buah yang loyal yang berasal dari background yang sama, yakni militer. 

Meski mencetak hattrick berupa tiga kalah kalah Pemilu, tapi dia makin kuat tiap tahunnya. Partainya berkembang jauh melebihi partai baru lain seperti Nasdem dan bahkan Demokrat. Gerindra juga berpotensi menang pileg mendampingi PDIP. 

Prabowo juga punya aset yang besar. Dirinya adalah anak dari Soemitro, begawan ekonomi dan sosok yang bukan sembarangan dalam pemerintahan. Hasyim, adiknya, juga pengusaha besar. 

Lebih dari itu, Prabowo punya Gibran yang dianggap sebagai bentuk reinkarnasi politik dari Jokowi. Meski Connie Rahakundini menyatakan bahwa ada teori Prabowo hanya berkuasa 2 tahun kemudian diganti Gibran, tetap saja, Prabowo adalah presiden terpilih saat ini. 

Melawan Prabowo berarti melawan Gerindra, partai yang setidaknya akan masuk 3 besar hasil pileg 2024. Melawan Prabowo berarti melawan koalisi gemuk Gerindra bersama dengan Demokrat, Golkar, PBB, PAN, Gelora, PSI plus Prima yang merupakan jelmaan PRD, kelompok yang disebut berada di balik gerakan mahasiswa 1999. Selain itu jangan lupakan Projo, sebuah partai Jokowi yang masih berbentuk ormas. Melawan Prabowo juga berarti melawan Jokowi. Dan PDIP beserta koalisnya ditambah relawan non partisan GAMA gagal melakukannya. 

Ganjar kalah Karena 4 Faktor Utama

Mega dan simpatisan PDIP
Mega dan simpatisan PDIP

Jadi alasan kekalahan Ganjar Mahfud dari Prabowo dikarenakan 4 faktor, yakni: 

  1. Faktor Jokowi yang memihak Prabowo-Gibran
  2. Koalisi Ganjar-Mahfud yang tidak solid
  3. Strategi politik yang tidak tepat
  4. Kekuatan yang memang dimiliki Prabowo

Lantas bagaimana selanjutnya sekarang? Apakah PDIP akan masuk ke mode oposisi? Benarkah partai banteng yang berasaskan Marhaenisme akan berkolaborasi dengan PKS yang punya akar politik Islam yang kuat? Kita tunggu saja. Jangan lupa bahwa dalam politik, tidak ada musuh ataupun kawan yang abadi. Bahkan di tahun 2009, Megawati pernah berpasangan dengan Prabowo dalam pilpres untuk menghadapi SBY dan Jusuf Kalla. 

Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "4 Faktor Kenapa Ganjar Pranowo Kalah dalam Pilpres 2024"